Jumat, 28 September 2012

Membaca Kartun Malinda Fever Majalah Tempo


KEPALA dan tangan sebelah kiri lelaki setengah baya itu terputus dari badannya. Kepala dan tangan itu memburu dan hendak menggapai buah dada yang montok dan besar milik perempuan sintal berbaju merah juga rambut bercat merah yang sedang menarik dasi lelaki setengah baya itu. Lidah lelaki itu terjulur, liurnya menetes-netes, dan bola matanya tersebui nyaris copot memandang buah dada yang montok dan besar itu. Sementara dari badan buntung lelaki berperut buncit yang dibalut jas itu, berhamburan keluar uang yang mengalir ke arah perempuan tersebut, seolah disedot oleh tubuh perempuan itu hingga lembar-lembar uang tersebut menyelimuti tubuhnya. Sedang di belakang lelaki itu berjatuhan blangko kosong bertanda tangan serta tangan dan bulpen. Begitulah Tempo menggambarkan kejahatan yang dilakukan Malinda Dee lewat kartun yang diberi judul Malinda Fever.
Kartun tersebut tentu saja bukan sekedar berfungsi sebagai ilustrasi tambahan untuk melengkapi berita, tetapi ia juga merupakan bagian dari teks yang membangun keseluruhan wacana. Oleh karena itu kartun tersebut bukan sekedar cerita tentang kejahatan yang dilakukan oleh seorang perempuan, namun ia, menyitir kalimat Barthes (2004:152), telah dihias, disesuaikan dengan tipe konsumsi tertentu, yang mengandung imajinasi, pendek kata, penuh dengan tipe pemakaian sosial yang ditambahkan kepada keadaan asli kejahatan yang dilakukan perempuan tersebut.

Dalam hal ini tanda linguistik atau penanda-penanda visual yang digunakan untuk membentuk kartun tersebut bukan sekedar mendenotasikan suatu peristiwa, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda agar cocok untuk komunikasi dalam konteks sosial tertentu.    

Bila deskripsi atau gambaran di atas diterima sebagai deskripsi denotatif, kita menemukan ada seorang lelaki setengah baya berperut buncit (mengenakan jas dan dasi) yang diperdaya oleh kemolekan payudara seorang perempuan hingga lidahnya menjulur, liurnya menetes-netes, dan matanya tersebui nyaris copot melihat payu dara perempuan tersebut. Sementara tangan perempuan tersebut menarik dasi lelaki itu, serentak tubuhnya menyedot uang dari tubuh lelaki itu hingga menyelimuti tubuhnya.

Mengacu pada kode-kode kultural yang berlaku dalam masyarakat, pada tataran konotasi lelaki berusia setengah baya berperut buncit yang mengenakan jas dan dasi dapat dimaknai sebagai lelaki mapan dan kaya raya. Tangan perempuan yang menarik dasi lelaki itu dapat dimaknai sebagai tindakan merayu. Sedangkan lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot, dan tangan yang hendak mengapai payu dara perempuan tersebut bermakna lelaki itu terpedaya rayuan atau menggunakan istilah Tempo, lelaki itu terkena Malinda fever..

Asosiasi-asosiasi sederhana itu baru menunjukkan penandaan kontekstual yang bermakna agar teks dapat dipahami, dalam konsepsi Roland Barthes disebut bahasa-bahasa objek, yaitu bahasa yang digunakan mitos untuk membentuk sistemnya sendiri, sementara mitos itu sendiri belum terungkap, namun sudah ada kata kunci yang mengemuka yaitu Malinda fever. Bahasa-bahasa objek (seperti lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot, dan tangan yang hendak mengapai payu dara) merupakan penanda visual untuk membentuk dan mengunci makna kartun tersebut sebagai “Malinda fever”. Ini merupakan sistem semiologis tingkat pertama.

Untuk mengungkap mitos, analisis harus beralih ke sistem semiologis tingkat kedua yakni metabahasa. Metabahasa adalah tempat di mana bahasa yang pertama (bahasa-bahasa objek) dibicarakan. Menurut Roland Barthes, ketika menelaah metabahasa, peneliti tidak lagi harus bertanya-tanya tentang komposisi bahasa-objek, tidak perlu lagi membicarakan detail-detail skema linguistik, hanya perlu mengetahui istilah totalnya, atau tanda global (bdk, Barthes, 2004: 162). Tanda global ini yang telah diidentifikasi pada sistem semiologis tingkat pertama sebagai asosiasi tubuh Malinda Dee sebagai sumber fever.

Jika metabahasa merupakan tempat di mana bahasa-bahasa objek dibicarakan, ia mengacu pada konteks sosio-kultural di mana bahasa-objek itu diproduksi. Konteks yang memungkinkan penandaan tersebut, asosiasi tubuh Malinda Dee dengan sumber fever, dapat diterima secara sosial. Dari sini analisis harus bertolak dari semiologi menuju ideologi (Lih, Barthes, 2004: 186).

Fever dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai demam atau suhu badan lebih tinggi dari biasanya karena sakit, atau dalam arti kiasannya demam bermakna ketergila-gilaan terhadap sesuatu. Sementara itu, dalam moralitas partiarki, tubuh perempuan dikonstruksi sebagai sumber penggoda, sumber dosa, dan malapetaka; dengan kata lain, tubuh perempuan adalah “sesuatu yang merusak batin”. Dalam konteks sosio-kultural inilah asosiasi metaforis tubuh Malinda Dee dengan fever dalam kartun Tempo itu menjadi wajar (berterima) dan terpahami. Pada saat yang bersamaan, tepat pada titik itulah mitos berfungsi yakni mentranformasi “sejarah” menjadi “alam”. Mentransformasikan moralitas patriarki yang dikonstuksi secara historis itu menjadi sesuatu yang natural, wajar, dan alamiah.

Oleh karena itu Barthes (2004: 190) menyebut mitos sebagai bahasa curian. Mitos tidak mencatut bahasa-bahasa objek (payudara yang montok, lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot memandang payudara, dan tangan yang hendak mengapai payudara) itu untuk sekedar mengasosiasikan tubuh Malinda Dee sebagai sumber fever, atau menyimbolkan moralitas patriarki, tetapi juga menaturalisasi moralitas patriarki itu sendiri. Sehingga memandang tubuh perempuan sebagai sumber fever sama wajarnya dengan memahami bahwa matahari terbit dari timur..

Selasa, 14 Februari 2012

Pemorkosaan dan Masyarakat Misoginis

MARAKNYA kasus pemerkosaan di angkot yang terjadi belakangan ini, memperlihatkan wajah masyarakat kita yang misoginis; suatu fenomena yang menunjukkan adanya kebencian mendalam terhadap perempuan. Sikap misoginis itu sendiri, antara lain, terbentuk akibat dari sikap negara yang tidak sensitif gender. 

Kasus pemerkosaan di dalam angkutan kota kembali terjadi. Baru-baru ini, 20 Januari 2012 publik dikejutkan dengan pengakuan seorang mahasiswi sekolah tinggi kebidanan berinisial JM (18) yang diperkosa oleh lima pria secara bergilir di dalam angkot C01 jurusan Ciledug, Kebayoran Baru, Jakarta. Peristiwa pemerkosaan ini menambah beberapa deret kasus pemerkosaan di angkot yang belum selesai diusut.

Kasus pemerkosaan sebelumnya pertama, kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa mahasiswa Universitas Bima Nusantara (Binus), Livia Pavita Soelistio di angkot M 24 jurusan Slipi-Binus Kebon Jeruk, Jakarta. Kedua, kasus pemerkosaan yang dialami oleh karyawan perusahaan swasta berinisial RS (28) di dalam angkot D02 jurusan Pondok Labu-Ciputat, Jakarta. Lalu, ketiga, kasus pemerkosaan yang dilakukan supir angkot jurusan Cibubur, Taman Bunga Mekarsari, Jakarta, MS (55), terhadap 5 anak perempuan. Dan, keempat,  kasus pemerkosaan dan perampokan yang menimpa Ros (40), pedagang sayur pada 14 Desember di dalam angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi, Jakarta. 

Lima kasus pemerkosaan yang terjadi dalam waktu yang berdekataan itu sebetulnya hanya sebagian kasus yang diekspos media. Komnas Perempuan melangsir data yang membuat miris: sejak tahun 1998 hingga 2010 kasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 4.845. Kemudian pada tahun 2011 kasus itu membengkak menjadi 400.939 kasus pemerkosaan. 

Situasi Misoginis

Data mencenggangkan itu menyiratkan kaum perempuan hidup dalam situasi misoginis. Suasana dimana stuktur sosial masyarakat menyimpan kebencian mendalam terhadap perempuan di alam bawah sadar mereka. Dalam kondisi masyarak seperti itu, perempuan dipandang rendah, kotor, dan nista, sehingga layak mendapatkan berbagai bentuk perlakuan buruk termasuk diperkosa dan bahkan dibunuh.

Situasi misoginis tersebut sangat jelas terungkap dalam wacana yang menyalahkan perempuan pada kasus pemerkosaan itu. Setelah kasus ini terekspos secara luas di media massa, wacana yang mencuat adalah pemerkosaan itu terjadi karena ulah dari perempuan itu sendiri. Perempuan dianggap mengundang dengan gaya pakaianya yang terlihat menonjolkan bagian-bagian atau lekuk-lekut tubunya. Sedangkan laki-laki yang menjadi pelaku seolah-olah dilindungi dengan dihilangkan dari perbingcangan.

Fenomena itu menunjukkan perempuan yang jelas sudah menjadi korban tetap dipersalahkan. Jika pandangan misoginis ini terus hidup ditengah masyarakat, pemorkosaan semacam ini akan terus terjadi dan bahkan akan terus meningkat. Di sini dibutukan penanganan serius oleh pihak-pihak  yang berwenan. Wacana yang beredar bahwa pemerkosaan ini berulang kali terjadi karena kurangnya penanganan tegas dari pihak kepolisiaan. Kepolosianlah yang harus memprioritaskan perlindungan terhadap perempuan serta memperbaiki kinerja intelijen. Haruskah pihak kepolisian yang dipersalahka? Dalam hal ini, peran negaralah yang sangat menentukan guna melindungi eksistensi kaum perempuan: hak, kebebasan dan martabatnya. 

Pengabaian

Banyaknya kasus pemerkosaan yang terus bermunculan karena hak-hak perempuan diabaikan, khususnya oleh negara. Perempuan tidak diperhitungkan dalam berbagai aspek kehidupan; ekonomi, sosial, politik, budaya, dan termasuk di bidang pembangunan atau infrastruktur.

Dalam sistem trasportasi tidak sensitif terhadap kenyamanan perempuan. Ketidaknyamanan itu juga terlihat pada ruang-ruang publik - ruang yang digunakan secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte), dan museum. Hal itu menyebabkan potensi terungkapnya rasa misoginis yang terpendam dapat muncul ke permukaan dalam bentuk pemerkosaan.

Karena pemerkosaan adalah persoalan hak asasi manusia, dan merupakan bentuk tindakan kriminal. Maka, pemenuhan hak-hak perempuan dengan diperhitungkan dalam pembangunan-dengan menerapkan sensitivitas gender amat penting dan mutlak perlu. Hal itu diyakini akan mempersempit atau mencegah terjadinya tindakan misoginis terhadap perempuan.