KEPALA dan tangan sebelah kiri lelaki setengah baya
itu terputus dari badannya. Kepala dan tangan itu memburu dan hendak menggapai buah
dada yang montok dan besar milik perempuan sintal berbaju merah juga rambut
bercat merah yang sedang menarik dasi lelaki setengah baya itu. Lidah lelaki
itu terjulur, liurnya menetes-netes, dan bola matanya tersebui nyaris copot
memandang buah dada yang montok dan besar itu. Sementara dari badan buntung
lelaki berperut buncit yang dibalut jas itu, berhamburan keluar uang yang
mengalir ke arah perempuan tersebut, seolah disedot oleh tubuh perempuan itu
hingga lembar-lembar uang tersebut menyelimuti tubuhnya. Sedang di belakang lelaki
itu berjatuhan blangko kosong bertanda tangan serta tangan dan bulpen.
Begitulah Tempo menggambarkan
kejahatan yang dilakukan Malinda Dee lewat kartun yang diberi judul Malinda Fever.
Kartun tersebut tentu saja bukan sekedar berfungsi
sebagai ilustrasi tambahan untuk melengkapi berita, tetapi ia juga merupakan
bagian dari teks yang membangun keseluruhan wacana. Oleh karena itu kartun
tersebut bukan sekedar cerita tentang kejahatan yang dilakukan oleh seorang
perempuan, namun ia, menyitir kalimat Barthes (2004:152), telah dihias,
disesuaikan dengan tipe konsumsi tertentu, yang mengandung imajinasi, pendek
kata, penuh dengan tipe pemakaian
sosial yang ditambahkan kepada keadaan asli kejahatan yang dilakukan perempuan
tersebut.
Dalam hal ini tanda linguistik atau penanda-penanda
visual yang digunakan untuk membentuk kartun tersebut bukan sekedar
mendenotasikan suatu peristiwa, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang
dilampirkan pada tanda agar cocok untuk komunikasi dalam konteks sosial
tertentu.
Bila deskripsi atau gambaran di atas diterima sebagai
deskripsi denotatif, kita menemukan ada seorang lelaki setengah baya berperut
buncit (mengenakan jas dan dasi) yang diperdaya oleh kemolekan payudara seorang
perempuan hingga lidahnya menjulur, liurnya menetes-netes, dan matanya tersebui
nyaris copot melihat payu dara perempuan tersebut. Sementara tangan perempuan
tersebut menarik dasi lelaki itu, serentak tubuhnya menyedot uang dari tubuh
lelaki itu hingga menyelimuti tubuhnya.
Mengacu pada kode-kode kultural yang berlaku dalam
masyarakat, pada tataran konotasi lelaki berusia setengah baya berperut buncit
yang mengenakan jas dan dasi dapat dimaknai sebagai lelaki mapan dan kaya raya.
Tangan perempuan yang menarik dasi lelaki itu dapat dimaknai sebagai tindakan
merayu. Sedangkan lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui
nyaris copot, dan tangan yang hendak mengapai payu dara perempuan tersebut
bermakna lelaki itu terpedaya rayuan atau menggunakan istilah Tempo, lelaki itu terkena Malinda fever..
Asosiasi-asosiasi sederhana itu baru menunjukkan
penandaan kontekstual yang bermakna agar teks dapat dipahami, dalam konsepsi
Roland Barthes disebut bahasa-bahasa objek, yaitu bahasa yang digunakan mitos
untuk membentuk sistemnya sendiri, sementara mitos itu sendiri belum terungkap,
namun sudah ada kata kunci yang mengemuka yaitu Malinda fever. Bahasa-bahasa objek (seperti lidah yang tejulur,
liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot, dan tangan yang hendak
mengapai payu dara) merupakan penanda visual untuk membentuk dan mengunci makna
kartun tersebut sebagai “Malinda fever”.
Ini merupakan sistem semiologis tingkat pertama.
Untuk mengungkap mitos, analisis harus beralih ke
sistem semiologis tingkat kedua yakni metabahasa.
Metabahasa adalah tempat di mana
bahasa yang pertama (bahasa-bahasa objek) dibicarakan. Menurut Roland Barthes,
ketika menelaah metabahasa, peneliti
tidak lagi harus bertanya-tanya tentang komposisi bahasa-objek, tidak perlu
lagi membicarakan detail-detail skema linguistik, hanya perlu mengetahui
istilah totalnya, atau tanda global (bdk, Barthes, 2004: 162). Tanda
global ini yang telah diidentifikasi pada sistem semiologis tingkat pertama sebagai
asosiasi tubuh Malinda Dee sebagai sumber fever.
Jika metabahasa
merupakan tempat di mana bahasa-bahasa objek dibicarakan, ia mengacu pada
konteks sosio-kultural di mana bahasa-objek itu diproduksi. Konteks yang
memungkinkan penandaan tersebut, asosiasi tubuh Malinda Dee dengan sumber fever, dapat diterima secara sosial.
Dari sini analisis harus bertolak dari semiologi menuju ideologi (Lih, Barthes,
2004: 186).
Fever dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai demam
atau suhu badan lebih tinggi dari biasanya karena sakit, atau dalam arti
kiasannya demam bermakna ketergila-gilaan terhadap sesuatu. Sementara itu, dalam
moralitas partiarki, tubuh perempuan dikonstruksi sebagai sumber penggoda,
sumber dosa, dan malapetaka; dengan kata lain, tubuh perempuan adalah “sesuatu
yang merusak batin”. Dalam konteks sosio-kultural inilah asosiasi metaforis
tubuh Malinda Dee dengan fever dalam kartun
Tempo itu menjadi wajar (berterima)
dan terpahami. Pada saat yang bersamaan, tepat pada titik itulah mitos
berfungsi yakni mentranformasi “sejarah” menjadi “alam”. Mentransformasikan
moralitas patriarki yang dikonstuksi secara historis itu menjadi sesuatu yang
natural, wajar, dan alamiah.
Oleh karena itu Barthes (2004: 190) menyebut mitos
sebagai bahasa curian. Mitos tidak mencatut bahasa-bahasa objek (payudara yang
montok, lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot
memandang payudara, dan tangan yang hendak mengapai payudara) itu untuk sekedar
mengasosiasikan tubuh Malinda Dee sebagai sumber fever, atau menyimbolkan
moralitas patriarki, tetapi juga menaturalisasi
moralitas patriarki itu sendiri. Sehingga memandang tubuh perempuan sebagai
sumber fever sama wajarnya dengan
memahami bahwa matahari terbit dari timur..