Jumat, 28 September 2012

Membaca Kartun Malinda Fever Majalah Tempo


KEPALA dan tangan sebelah kiri lelaki setengah baya itu terputus dari badannya. Kepala dan tangan itu memburu dan hendak menggapai buah dada yang montok dan besar milik perempuan sintal berbaju merah juga rambut bercat merah yang sedang menarik dasi lelaki setengah baya itu. Lidah lelaki itu terjulur, liurnya menetes-netes, dan bola matanya tersebui nyaris copot memandang buah dada yang montok dan besar itu. Sementara dari badan buntung lelaki berperut buncit yang dibalut jas itu, berhamburan keluar uang yang mengalir ke arah perempuan tersebut, seolah disedot oleh tubuh perempuan itu hingga lembar-lembar uang tersebut menyelimuti tubuhnya. Sedang di belakang lelaki itu berjatuhan blangko kosong bertanda tangan serta tangan dan bulpen. Begitulah Tempo menggambarkan kejahatan yang dilakukan Malinda Dee lewat kartun yang diberi judul Malinda Fever.
Kartun tersebut tentu saja bukan sekedar berfungsi sebagai ilustrasi tambahan untuk melengkapi berita, tetapi ia juga merupakan bagian dari teks yang membangun keseluruhan wacana. Oleh karena itu kartun tersebut bukan sekedar cerita tentang kejahatan yang dilakukan oleh seorang perempuan, namun ia, menyitir kalimat Barthes (2004:152), telah dihias, disesuaikan dengan tipe konsumsi tertentu, yang mengandung imajinasi, pendek kata, penuh dengan tipe pemakaian sosial yang ditambahkan kepada keadaan asli kejahatan yang dilakukan perempuan tersebut.

Dalam hal ini tanda linguistik atau penanda-penanda visual yang digunakan untuk membentuk kartun tersebut bukan sekedar mendenotasikan suatu peristiwa, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda agar cocok untuk komunikasi dalam konteks sosial tertentu.    

Bila deskripsi atau gambaran di atas diterima sebagai deskripsi denotatif, kita menemukan ada seorang lelaki setengah baya berperut buncit (mengenakan jas dan dasi) yang diperdaya oleh kemolekan payudara seorang perempuan hingga lidahnya menjulur, liurnya menetes-netes, dan matanya tersebui nyaris copot melihat payu dara perempuan tersebut. Sementara tangan perempuan tersebut menarik dasi lelaki itu, serentak tubuhnya menyedot uang dari tubuh lelaki itu hingga menyelimuti tubuhnya.

Mengacu pada kode-kode kultural yang berlaku dalam masyarakat, pada tataran konotasi lelaki berusia setengah baya berperut buncit yang mengenakan jas dan dasi dapat dimaknai sebagai lelaki mapan dan kaya raya. Tangan perempuan yang menarik dasi lelaki itu dapat dimaknai sebagai tindakan merayu. Sedangkan lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot, dan tangan yang hendak mengapai payu dara perempuan tersebut bermakna lelaki itu terpedaya rayuan atau menggunakan istilah Tempo, lelaki itu terkena Malinda fever..

Asosiasi-asosiasi sederhana itu baru menunjukkan penandaan kontekstual yang bermakna agar teks dapat dipahami, dalam konsepsi Roland Barthes disebut bahasa-bahasa objek, yaitu bahasa yang digunakan mitos untuk membentuk sistemnya sendiri, sementara mitos itu sendiri belum terungkap, namun sudah ada kata kunci yang mengemuka yaitu Malinda fever. Bahasa-bahasa objek (seperti lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot, dan tangan yang hendak mengapai payu dara) merupakan penanda visual untuk membentuk dan mengunci makna kartun tersebut sebagai “Malinda fever”. Ini merupakan sistem semiologis tingkat pertama.

Untuk mengungkap mitos, analisis harus beralih ke sistem semiologis tingkat kedua yakni metabahasa. Metabahasa adalah tempat di mana bahasa yang pertama (bahasa-bahasa objek) dibicarakan. Menurut Roland Barthes, ketika menelaah metabahasa, peneliti tidak lagi harus bertanya-tanya tentang komposisi bahasa-objek, tidak perlu lagi membicarakan detail-detail skema linguistik, hanya perlu mengetahui istilah totalnya, atau tanda global (bdk, Barthes, 2004: 162). Tanda global ini yang telah diidentifikasi pada sistem semiologis tingkat pertama sebagai asosiasi tubuh Malinda Dee sebagai sumber fever.

Jika metabahasa merupakan tempat di mana bahasa-bahasa objek dibicarakan, ia mengacu pada konteks sosio-kultural di mana bahasa-objek itu diproduksi. Konteks yang memungkinkan penandaan tersebut, asosiasi tubuh Malinda Dee dengan sumber fever, dapat diterima secara sosial. Dari sini analisis harus bertolak dari semiologi menuju ideologi (Lih, Barthes, 2004: 186).

Fever dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai demam atau suhu badan lebih tinggi dari biasanya karena sakit, atau dalam arti kiasannya demam bermakna ketergila-gilaan terhadap sesuatu. Sementara itu, dalam moralitas partiarki, tubuh perempuan dikonstruksi sebagai sumber penggoda, sumber dosa, dan malapetaka; dengan kata lain, tubuh perempuan adalah “sesuatu yang merusak batin”. Dalam konteks sosio-kultural inilah asosiasi metaforis tubuh Malinda Dee dengan fever dalam kartun Tempo itu menjadi wajar (berterima) dan terpahami. Pada saat yang bersamaan, tepat pada titik itulah mitos berfungsi yakni mentranformasi “sejarah” menjadi “alam”. Mentransformasikan moralitas patriarki yang dikonstuksi secara historis itu menjadi sesuatu yang natural, wajar, dan alamiah.

Oleh karena itu Barthes (2004: 190) menyebut mitos sebagai bahasa curian. Mitos tidak mencatut bahasa-bahasa objek (payudara yang montok, lidah yang tejulur, liur yang menetes, mata yang tersebui nyaris copot memandang payudara, dan tangan yang hendak mengapai payudara) itu untuk sekedar mengasosiasikan tubuh Malinda Dee sebagai sumber fever, atau menyimbolkan moralitas patriarki, tetapi juga menaturalisasi moralitas patriarki itu sendiri. Sehingga memandang tubuh perempuan sebagai sumber fever sama wajarnya dengan memahami bahwa matahari terbit dari timur..

Selasa, 14 Februari 2012

Pemorkosaan dan Masyarakat Misoginis

MARAKNYA kasus pemerkosaan di angkot yang terjadi belakangan ini, memperlihatkan wajah masyarakat kita yang misoginis; suatu fenomena yang menunjukkan adanya kebencian mendalam terhadap perempuan. Sikap misoginis itu sendiri, antara lain, terbentuk akibat dari sikap negara yang tidak sensitif gender. 

Kasus pemerkosaan di dalam angkutan kota kembali terjadi. Baru-baru ini, 20 Januari 2012 publik dikejutkan dengan pengakuan seorang mahasiswi sekolah tinggi kebidanan berinisial JM (18) yang diperkosa oleh lima pria secara bergilir di dalam angkot C01 jurusan Ciledug, Kebayoran Baru, Jakarta. Peristiwa pemerkosaan ini menambah beberapa deret kasus pemerkosaan di angkot yang belum selesai diusut.

Kasus pemerkosaan sebelumnya pertama, kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa mahasiswa Universitas Bima Nusantara (Binus), Livia Pavita Soelistio di angkot M 24 jurusan Slipi-Binus Kebon Jeruk, Jakarta. Kedua, kasus pemerkosaan yang dialami oleh karyawan perusahaan swasta berinisial RS (28) di dalam angkot D02 jurusan Pondok Labu-Ciputat, Jakarta. Lalu, ketiga, kasus pemerkosaan yang dilakukan supir angkot jurusan Cibubur, Taman Bunga Mekarsari, Jakarta, MS (55), terhadap 5 anak perempuan. Dan, keempat,  kasus pemerkosaan dan perampokan yang menimpa Ros (40), pedagang sayur pada 14 Desember di dalam angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi, Jakarta. 

Lima kasus pemerkosaan yang terjadi dalam waktu yang berdekataan itu sebetulnya hanya sebagian kasus yang diekspos media. Komnas Perempuan melangsir data yang membuat miris: sejak tahun 1998 hingga 2010 kasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 4.845. Kemudian pada tahun 2011 kasus itu membengkak menjadi 400.939 kasus pemerkosaan. 

Situasi Misoginis

Data mencenggangkan itu menyiratkan kaum perempuan hidup dalam situasi misoginis. Suasana dimana stuktur sosial masyarakat menyimpan kebencian mendalam terhadap perempuan di alam bawah sadar mereka. Dalam kondisi masyarak seperti itu, perempuan dipandang rendah, kotor, dan nista, sehingga layak mendapatkan berbagai bentuk perlakuan buruk termasuk diperkosa dan bahkan dibunuh.

Situasi misoginis tersebut sangat jelas terungkap dalam wacana yang menyalahkan perempuan pada kasus pemerkosaan itu. Setelah kasus ini terekspos secara luas di media massa, wacana yang mencuat adalah pemerkosaan itu terjadi karena ulah dari perempuan itu sendiri. Perempuan dianggap mengundang dengan gaya pakaianya yang terlihat menonjolkan bagian-bagian atau lekuk-lekut tubunya. Sedangkan laki-laki yang menjadi pelaku seolah-olah dilindungi dengan dihilangkan dari perbingcangan.

Fenomena itu menunjukkan perempuan yang jelas sudah menjadi korban tetap dipersalahkan. Jika pandangan misoginis ini terus hidup ditengah masyarakat, pemorkosaan semacam ini akan terus terjadi dan bahkan akan terus meningkat. Di sini dibutukan penanganan serius oleh pihak-pihak  yang berwenan. Wacana yang beredar bahwa pemerkosaan ini berulang kali terjadi karena kurangnya penanganan tegas dari pihak kepolisiaan. Kepolosianlah yang harus memprioritaskan perlindungan terhadap perempuan serta memperbaiki kinerja intelijen. Haruskah pihak kepolisian yang dipersalahka? Dalam hal ini, peran negaralah yang sangat menentukan guna melindungi eksistensi kaum perempuan: hak, kebebasan dan martabatnya. 

Pengabaian

Banyaknya kasus pemerkosaan yang terus bermunculan karena hak-hak perempuan diabaikan, khususnya oleh negara. Perempuan tidak diperhitungkan dalam berbagai aspek kehidupan; ekonomi, sosial, politik, budaya, dan termasuk di bidang pembangunan atau infrastruktur.

Dalam sistem trasportasi tidak sensitif terhadap kenyamanan perempuan. Ketidaknyamanan itu juga terlihat pada ruang-ruang publik - ruang yang digunakan secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte), dan museum. Hal itu menyebabkan potensi terungkapnya rasa misoginis yang terpendam dapat muncul ke permukaan dalam bentuk pemerkosaan.

Karena pemerkosaan adalah persoalan hak asasi manusia, dan merupakan bentuk tindakan kriminal. Maka, pemenuhan hak-hak perempuan dengan diperhitungkan dalam pembangunan-dengan menerapkan sensitivitas gender amat penting dan mutlak perlu. Hal itu diyakini akan mempersempit atau mencegah terjadinya tindakan misoginis terhadap perempuan. 

Kamis, 20 Oktober 2011

Dari Aceh Menuju AsiaTenggara




Judul buku: Jangan Tulis Kami Teroris

Penulis: Linda Christanty

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Halaman: x + 147 halaman





JIKA di buku sebelumnya, Dari Jawa Menuju Atjeh, yang merupakan kumpulan catatan perjalanan, pemikiran, dan kepedulian Linda Cristanty terhadap sejumlah orang dari Jawa sampai Aceh yang mengalami kegetiran hidup dalam sistem kekuasaan dan sosial yang membungkam dan anti perbedaan. Misalnya, di situ, Linda bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, Wiji Thukul, penyair yang sejak 1998 hilang tanpa jejak, dan Dede Oetomo, tokoh Gaya Nusantara, serta tercatat pula Kebo, seorang preman yang dibakar massa di Jakarta.

Kali ini, Linda kembali menyapa pembaca dengan buku barunya berjudul Jangan Tulis Kami Teroris. Ini merupakan  kumpulan tulisan yang bertolak dari Aceh menuju kawasan yang lebih luas yaitu Asia Tenggara. Kumpulan tulisan ini merupakan hasil wawancara berbagai kalangan mulai dari anggota Forum Pembela Islam (FPI) dan toko Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga warga dari berbagai kalangan di Malaysia, petani Thailand Selatan, dan Kamboja.

Jangan Tulis Kami Teroris. Salah satu tulisan yang kemudian menjadi Judul buku ini bermula dari kunjungan rombongan Linda ke pesantren Darul Mujahiddin di Aceh. Dalam kunjungan itu, Linda ingin bertemu dengan Tengku Muslim, pemimpin pesantren tersebut guna mengetahui kebenaran dari pemberitaan di televisi yang mengabarkan pesantren Darul Mujahiddin dituduh sebagai saran teroris.

Ketika hendak memasuki kompleks pesantren itu, terdengar hardikan dari beberapa santri yang sedang berkumpul di posko dekat jalan masuk “Hai, ka jok ija krong! (hai, kau berikan kain sarung!)”. Mereka tidak terima Linda mengenakan celana panjang dan tidak berjilbab masuk ke rumah sang pemimpin. Saat rombongan kembali ke mobil yang ditumpangi dan bergerak menuju jalan raya. Sontak terdengar teriakan: Jangan tulis kami teroris.  

Dan, pada masa orde baru, ketika pemerintahan Soharto melarang perempuan-perempuan untuk berjilbab. Adik kandung penulis, Tata, menentang kebijakan itu karena menurut dia berjilbab itu pilihan hidup. Penentangan itu ketika menjelang kelulusannya. Ketika potret untuk foto ijasah sarjananya, ia diminta melepas jilbab. Tata menolak melepas jilbab. Akibatnya ia harus menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak akan menuntut apa pun di kemudian hari bila foto itu berdampak terhadap hidupnya, termasuk susah memperoleh pekerjaan.

Berbeda dengan Tata yang berjilbab karena pilihan. Donna Lestri, sekretaris kantor Aceh Feature salah satu orang terdekat penulis yang berjilbab. Donna mengenakan jilbab akibat penerapan wajib jilbab di Aceh. Ia mengenakan jilbab karena terpaksa. Suatu hari Donna mengenakan selendang, mengikuti suri tauladan pahlawan nasional Cut Nyak Dien, pejuang Islam Aceh dan pahlawan perang melawan kolonialisme Belanda. Cut Nyak Dien juga mengenakan celana panjang dengan rencong terselip di pinggang, bukan mengenakan rok seperti yang diwajibkan untuk perempuan di Meulaboh, Aceh Barat, atas nama syariat Islam itu. Pemaksaan penerapan jilbab di Aceh ini bersifat ahistoris. Gara-gara Donna tidak memakai jilbab, Donna sudah dua kali ditangkap polisi atau di Aceh populer disebut Wilayatul Hisbah (WH). Jika terulang lagi, Donna akan dicekam dalam penjara dengan waktu yang belum ditentukan. Dari cerita-cerita perempuan berjilbab ini yang dituangkan penulis dalam featurenya “Jilbab Dek Tata”.  

Juga feature tentang, Mengenang Hasan Tiro. Cerita ini berawal dari cerita Hasan Tiro, seorang pencetus dan pemimpin tertinggi Aceh Merdeka yang sangat berpengaruh, waktu itu berjuang mati-matian untuk kemerdekaan Aceh, serta mendelegasikan Aceh Merdeka mulai dari Pidie sampai Aceh Barat. Hingga pada akhirnya perjuangan itu berlanjut pada penyakit infeksi jangung, gangguan pernapasa dan leukemia yang dideritan Hasan Tiro. Penyakit itu membuat Tirto  meninggal  pada 3 Juni 2010 di usia menjelang 85 tahun.

Selain itu, masih banyak feature lainya yang menarik untuk disimak dalam buku ini seperti, Saya dan Islam, Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Semua Untuk Aceh Merdeka, Perempuan Penjaga Perdamaian, Sampai Jumpa di Idaho, Orang-orang Sabang, Bahaya Neofasisme, Perpecahan dalam Persatuan, dan Tahun Nol.

Dalam buku ini, Linda menyatuhkan buah-buah pemikirannya yang kritis, berani, mendalam serta menegaskan. Dengan narasi yang hidup pembaca dibuat hanyut kedalam pengalaman, tempat dan reportasi yang dituturkan penulis. Seoalah-olah pembaca ikut dan telibat di dalam situasi itu.

Tulisan-tulisan Linda Cristanty, lebih daripada sekedar catatan biasa. Linda mengungkap kegetiran hidup tokoh-tokoh dalam buku ini lewat proses jurnalistik dan menuliskannya secara satrawi, sebagai prosa. Membaca buku ini mata kita seolah dibuat tercelik atas kenyataan hidup yang sedang kita bangun bersama. Juga, membuka kesadaran kita bahwa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan bisa terjadi dengan mengatasnamakan apa saja baik itu suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan, demokrasi.

Buku Jangan Tulis Kami Teroris ini merupakan buku kesekian Linda Cristanty. Sebelumnya, sudah banyak tulisan Linda meraih beberapa penghargaan. Seperti kumpulan cerita pendeknya, Kuda Terbang Mario Pinto, meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2004. Esainya, “Kekerasan dan Militerisme  di Timor Leste”, mendapatkan penghargaan sebagai esai terbaik hak asasi manusia tahun 1998. Petikan novelnya tentang konflik politik dan tsunami di Aceh, Tongkat Sultan, telah diadaptasi dalam opera modern dan dipentaskan dalam pertemuan World PEN di Tokyo, Februari 2008. Cerita pendeknya yang berlatar belakang politik 1965, “Makan Malam”, menjadi bahan matapelajaran bahasa indonesia di SMA seluruh negara bagian New South Wales, Australia.

Di tahun 2010 buku cerita pendeknya, Rahasia Selma meraih Khatulistiwa Libeterary Award 2010 membuatnya meraih penghargaan sastra sebanyak dua kali dalam satu dekade. Sejumlah ceritanya telah diterjemahkan kedalam bahas Inggris dan Jerman. Kemudian pada tahun yang sama, Linda meraih penghargaan dari Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya Dari Jawa Menuju Atjeh.

Mahasiswa Jepang Berkunjungi di Bernas Jogja

JOGJA- Tiga mahasiswa asal Jepang ditemani oleh seorang pemandu dari mahasiswa Sanata Dharma, Yoseph Pitados K, kemarin siang, Kamis (8/9) berkunjung di Harian Pagi Bernas Jogja Jalan IKIP PGRI Sonosewu Yokyakarta. Sebagai penerima Redaktur Senior, Y.B. Margantoro, Manajemen Iklan, Zubaedi, dan Sekretaris Korporat Bernas Jogja, Tedy Kartyadi.
Tiga mahasiwa itu adalah Misato Motegi, mahasiswa  Asia University semester tiga Fakultas Ekonomi Manajemen, Natsami Miwa, mahasiswa Asia University semester empat jurusan Public Relation, dan Mariko Tamai, mahasiswa Tokyo University of Foreign Study fakultas Bahasa semester tuju.
Kunjungan itu berkaitan dengan Program Pelatihan Bahasa dan Budaya Indonesia bagi orang asing di Lembaga Bahasa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta selama satu bulan, sekaligus study tour yang dimulai dari 17 Agustus 2011.
Saat berkunjung mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih, sedikit terbata-bata dengan logat Jepang yang masih sangat kentara, sesekali dibantu oleh pemandu mengajukan dan menjawab pertanyaan saat observasi dan wawancara. Pada kesempatan itu, mereka diajak menulis karya tulis dengan bahasa indonesia tentang pengalaman di Jogja. Karya  itu akan dipajang dikoran tersebut.
Menurut pemandu, Yoseph Pitados di Lembaga Pelatihan Bahasa Sanata Dharma mereka mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia selama satu bulan. Pelatiah itu berupa praktek bahasa indonesia dengan berintergrasi dengan masyarakat sekitar seperti mencari makan, naik becak dan berkunjung ketempat wisata.
Di antara tiga mahasiswa, Mariko Tamai sangat fasih menggunakan bahasa indonesia. Hal itu karena di Tokyo University of Foreign Study dia mengambil spesifikasi Bahasa Indonesia.  Menurut dia, bahasa Indonesia sangat menarik untuk dipelajari karena indonesia merupakan Negara besar,multikultur, kaya suku bangsa, dan padat populasi.
Guna memperkaya laporan study tour, tempat bersejarah yang tersebar di Jogja tidak lepas dari incaran mereka. Tiga mahasiswa yang suka dengan musik gamelang ini sudah berkunjung ke Malyaboro, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Keraton, Kota Gede, serta Taman Safari.
Tidak ketinggalan makanan dan buah-buahan menjadi incaran mereka. Natsami Miwa misalnya, dia lebih suka minum Jus apokat, nasi Gudeg, dan mangga. Menurut dia di Jepang mangga tidak semanis di Jogja. Mariko Tamai, buah semangka dan minum jahe menjadi kenikmatan sendiri. Sedangkan Misato Motegi lebih suka minum Degan.
Bagi mereka menjadi pengalaman tersendiri ketika melihat kendaraan sepeda motor lalu lalang di Jogja. Menurut mereka masyarakat Jepang mengandalkan mobil dan jalan kaki sebagai sarana trasportasi. Tidak ada sepeda motor. Kendaraan motor dinilai berbahaya bagi keselamatan. Hal ini juga yang melatarbelakangi mereka ketika menginjakan kaki di Jogja, pesan pertama dari kampus tempat mereka kuliah adalah menghindari kendaraan sepeda motor. 
Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 10/9/11

Pelatihan Jurnalistik Kampus Agar Berkesinambungan

JOGJA_Kepala Humas Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Parmonangan Manurung, ST, MT berharap, pelatihan bertema Pelatihan Jurnalistik Kampus dan Sekolah UKDY yang bekerjasama dengan Bernas Jogja dapat berkesinambungan. 


Hal itu diungkapkan dalam pembukaan pelatihan dan penandatanganan nota kesepahaman atau MOU di kampus UKDW Jalan Doktor Wahidin Sudirohusodo Yogyakarta, Sabtu (17/9).  MOU itu ditandatangani oleh Kepala Humas UKDW, Parmonangan Manurung dengan Redaktur Senior Bernas, Y.B. Margantoro disaksikan oleh para peserta pelatihan. Tujuan pelatihan ini adalah untuk mengembangkan media kampus setempat yakni, koran Duta Wacana dan SIMIX.


Menurut dia, pelatihan ini akan sangat bermanfaat. Dalam materi Jurnalistik Koran yang dibawakan oleh Redaktur Senior, Y.B. Margantoro, harapanya mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan ilmu tambahan tentang seluk beluk berita koran.


Dalam pelatihan itu, para mahasiswa UKDW diingatkan kembali dengan membuka wacana mereka tentang koran, harapan sebagai penulis koran, pengalaman sebagai penulis, dan hasil  serta ekspektasi yang ingin diperoleh dari pelatihan ini. 


Hasil yang diperoleh, kebanyakan dari mereka telah menulis atikel. Bahkan artikel mereka juga telah dimuat di media. Tidak heran harapan kedepan, mereka ingin menjadi penulis artikel. Hanya satu peserta yang ingin menjadi penulis fiksi.


Sebagai aksi konkrik dan rill dari pelatihan ini, para peseta yang terdiri dari: Heins Allan R.M Fakultas Teknik; Andre Wieka Kristanto, Fakultas Sistem Informasi; Agrivina Vivian G. Fakultas Manajemen Bisnis, Esty Anatalia Ambar Utami, Fakultas Teknologi Informasi, dan Titi Setiawati, Fakultas Teknik Informasi            menulis hasil karya berupa tulisan artikel tentang sesuatu yang dekat di linkungan tempat mereka tinggal.


Selain itu, peserta diberi kesempatan menggungkapkan hambatan-hambatan untuk mengembangkan potensi diri menjadi apa yang ingin dicapai. Selanjutnya pelatihan diakhiri dengan melakakukan kunjungan observasi dan wawancara ke Redaksi Harian Bernas Jogja. Pelatihan ini merupakan kelanjutan dari pelatihan sebelumnya, kemarin (16/9). Dan berakhir hari ini Sabtu (17/9). Ada pun sebagai pembicara antara lain, Budi Sutedjo, Ardiana, dan Elia.

Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 19/9/11

Suatu Hari di Bantaran Kali Jagir

 
Inilah yang terjadi ketika aku mengabaikan suara-suara tersebut, ketika aku meninggalkan orang-orang terdekatku di seberang sana tanpa bantuan maupun dukungan, tanpa pilihan atau apa pun juga. Inilah yang terjadi.


Kala itu Negaraku dilanda kekacauan. Jajak pendapat, sekaligus menentukan nasib sendiri yang diumumkan pada 4 September 1999 itu, menyisakan duka mendalam. Memporakporandakan segalanya: manusia dan kehidupannya, rumah atau gedung, dan semua isinya. 


Semuanya dihancurkan. Hampir tidak ada bekas. Kubu Indonesia yang menolak kemerdekaan, meluapkan kemarahan dengan membakar rumah warga, gedung pemerintah, toko-toko besar, dan membunuh warga yang dicurigai terlibat dalam proses kemerdekaan bahkan masyarakat kecil yang tidak tahu sama sekali duduk perkarapun menjadi korban. Daerahku dikepung dan dikuasai oleh kubu Indonesia. Aku tidak punya pilihan, terpaksa mengungsi ke Kupang walaupun aku, Markus ini, menolak mentah-mentah integrasi.


Bangkai-bangkai mayat berserakan dimana-mana ketika truk, Hino, milik tentara Indonesia yang ditugaskan di Timor-Leste  sejak invasi pada 7 Desember 1975 itu, kutumpangi menyusuri jalan menuju pelabuhan Com, suatu daerah yang terletak di pantai utara Lospalos, tempat  orang-orang menunggu tumpangan kapal, menuju ke Kupang, Indonesia. Demi keselamatan hidup, mereka meningalkan semuanya, ada yang datang seorang diri,  berpisah dengan keluarga, juga ada yang meninggalkan jasat keluarga tanpa dimakamkan. Tragis.


Aku melihat rumah kecilku yang tidak jauh dari keramaian itu pun telah dimusnahkan, ketika hino itu melintas.  Aku  melihat sendiri dengan mata kepalaku, aku melihat beberapa orang berbadan kekar, berpakaian loren, kepala diikat bendera merah puti, lengkap dengan senjata. Mereka  membakarnya, lalu pergi begitu saja. Aku hanya bisa melihat asap-asap melambung tinggi di udara menutupi rupa rumahku, kobaran api melambung tinggi. Sesekali bunyi senapan peluruh mengagetkan aku dari larutan kesedihan.  


Hanya hitungan dua hari, aku telah melangkah jauh dari negeriku. Melintasi gunung dan lautan. Aku mengungsi dengan kapal. Kapal  angkatan laut yang digerakkan untuk mengangkut pengungsi, selama kondisi Timor memanas paskah jajak pendapat.  


Aku tidak sempat menikmati kemerdekaan itu, hanya sesaat. Ketika kemerdekaan itu disiarkan pada stasun tv tempat kami menanti bersama keluarga, hasil pemilihan jajak pendapat. Dengan sorak-sorak. Hore! Hore! Kita menang! bersama keluarga, tapi hanya berlangsung di dalam rumah. Suara itu tidak boleh pecah dan terdengar hingga ke luar. Mereka tidak segan-segan menghabisi nyawamu.  


Berlanjut kisah.  Tepat 5 Desember 1999 aku sampai di Surabaya.  Bantaran kali Jagir, Wonokromo, menjadi tempat awal menyambung hidup. Aku gunakan uang hasil bantuan pemerintah indonesia membangun rumah kecil di bantaran kali.   Rumah itu layaknya gubuk kecil. Aku tingal seorang diri sebatang kara.


Tidak seperti di Kupang dulu di mana aku tingal di tenda-tenda yang waktu itu sudah disipkan oleh pemerintah Indonesia di Tuapukan, bersama pengungsi lainya. Bila waktu makan tiba,  tinggal mengambil diposko-posko terdekat.


Di Surabaya ini, seiring waktu, uangku habis tidak tersisa sepersenpun. Uang bantuan yang dijanjikan pemerintah indonesia untuk menyambung hidup telah dihentikan. Aku tidak bisa berharap banyak. Kehidupanku berubah. Aku menjadi pemulung. Pemulung tua yang biasa kutertawakan itu, biasa memulung sampah di depan rumah gubukku ini, sekarang aku termakan oleh tertawaanku sendiri. Aku, Markus ini, jatuh jadi pemulung jua.


Pagi-pagi benar, aku harus bangun menjelajah tempat-tempat sampah mengumpulkan ronsokan, takut kesiangan, takut yang lain akan mendahului. Penghasilanku terbilang kecil, cuma 5.000 per harinya.  Itu sudah lumayan. 


Tidak berselang lama, aku mulai menikmati tempat dan kerjaanku sebagai pemulung. Tidak peduli orang berpendapat apa tentang aku.


Sampai akhirnya malapetaka yang lain datang. Menurut undang-undang, bantaran kali tidak boleh dihuni. Kami yang berdiam di sini dianggap penduduk liar. Demi ketertiban, dan mengatasi kemacetan, katanya. Aku  dan orang-orang yang di sekitar bantaran kali diperingatkan tegas oleh petugas keamanan yang ditugaskan oleh PEMKOT Surabaya untuk mencari tempat lain. Tempat ini akan dikosongkan. Waktu penggusuran sudah ditentukan. Bagi yang tetap berdiam akan digusur secara paksa.


Aku pindah ke tempat yang tidak pasti. Di mana matahari mulai menghilang, mulai gelap, di situ  aku berteduh. Membaringkan kepala, ataupu bersandar pada benda-benda yang ada di sekitarku. Tidur bersama tumpukan sampah hasil pulungan. Pakaianku yang tinggal satu-satunya ini, baju lengang panjang dan celana panjang, baunya tidak karuan. Warnanya menyerupai tanah. Orang-orang merasa jijik melihatku apalagi mendekat.


Perut yang lapar tidak kuhiraukan. Yang kunanti, langit cepat terbuka, menemaniku dalam kegelapan, berkeliling memilah dan mengumpulkan sampah. Jika sudah cukup, kubelilah makanan untuk mengganjal perut. Kalaupun tidak, makanan sisa yang kutemukan di jalan atau di dalam ton sampah yang masih layak, ku makan jua. Dengan cara itu sampai sekarang aku masih bisa bertahan hidup, tak peduli orang berkata apa.