Kamis, 20 Oktober 2011

Suatu Hari di Bantaran Kali Jagir

 
Inilah yang terjadi ketika aku mengabaikan suara-suara tersebut, ketika aku meninggalkan orang-orang terdekatku di seberang sana tanpa bantuan maupun dukungan, tanpa pilihan atau apa pun juga. Inilah yang terjadi.


Kala itu Negaraku dilanda kekacauan. Jajak pendapat, sekaligus menentukan nasib sendiri yang diumumkan pada 4 September 1999 itu, menyisakan duka mendalam. Memporakporandakan segalanya: manusia dan kehidupannya, rumah atau gedung, dan semua isinya. 


Semuanya dihancurkan. Hampir tidak ada bekas. Kubu Indonesia yang menolak kemerdekaan, meluapkan kemarahan dengan membakar rumah warga, gedung pemerintah, toko-toko besar, dan membunuh warga yang dicurigai terlibat dalam proses kemerdekaan bahkan masyarakat kecil yang tidak tahu sama sekali duduk perkarapun menjadi korban. Daerahku dikepung dan dikuasai oleh kubu Indonesia. Aku tidak punya pilihan, terpaksa mengungsi ke Kupang walaupun aku, Markus ini, menolak mentah-mentah integrasi.


Bangkai-bangkai mayat berserakan dimana-mana ketika truk, Hino, milik tentara Indonesia yang ditugaskan di Timor-Leste  sejak invasi pada 7 Desember 1975 itu, kutumpangi menyusuri jalan menuju pelabuhan Com, suatu daerah yang terletak di pantai utara Lospalos, tempat  orang-orang menunggu tumpangan kapal, menuju ke Kupang, Indonesia. Demi keselamatan hidup, mereka meningalkan semuanya, ada yang datang seorang diri,  berpisah dengan keluarga, juga ada yang meninggalkan jasat keluarga tanpa dimakamkan. Tragis.


Aku melihat rumah kecilku yang tidak jauh dari keramaian itu pun telah dimusnahkan, ketika hino itu melintas.  Aku  melihat sendiri dengan mata kepalaku, aku melihat beberapa orang berbadan kekar, berpakaian loren, kepala diikat bendera merah puti, lengkap dengan senjata. Mereka  membakarnya, lalu pergi begitu saja. Aku hanya bisa melihat asap-asap melambung tinggi di udara menutupi rupa rumahku, kobaran api melambung tinggi. Sesekali bunyi senapan peluruh mengagetkan aku dari larutan kesedihan.  


Hanya hitungan dua hari, aku telah melangkah jauh dari negeriku. Melintasi gunung dan lautan. Aku mengungsi dengan kapal. Kapal  angkatan laut yang digerakkan untuk mengangkut pengungsi, selama kondisi Timor memanas paskah jajak pendapat.  


Aku tidak sempat menikmati kemerdekaan itu, hanya sesaat. Ketika kemerdekaan itu disiarkan pada stasun tv tempat kami menanti bersama keluarga, hasil pemilihan jajak pendapat. Dengan sorak-sorak. Hore! Hore! Kita menang! bersama keluarga, tapi hanya berlangsung di dalam rumah. Suara itu tidak boleh pecah dan terdengar hingga ke luar. Mereka tidak segan-segan menghabisi nyawamu.  


Berlanjut kisah.  Tepat 5 Desember 1999 aku sampai di Surabaya.  Bantaran kali Jagir, Wonokromo, menjadi tempat awal menyambung hidup. Aku gunakan uang hasil bantuan pemerintah indonesia membangun rumah kecil di bantaran kali.   Rumah itu layaknya gubuk kecil. Aku tingal seorang diri sebatang kara.


Tidak seperti di Kupang dulu di mana aku tingal di tenda-tenda yang waktu itu sudah disipkan oleh pemerintah Indonesia di Tuapukan, bersama pengungsi lainya. Bila waktu makan tiba,  tinggal mengambil diposko-posko terdekat.


Di Surabaya ini, seiring waktu, uangku habis tidak tersisa sepersenpun. Uang bantuan yang dijanjikan pemerintah indonesia untuk menyambung hidup telah dihentikan. Aku tidak bisa berharap banyak. Kehidupanku berubah. Aku menjadi pemulung. Pemulung tua yang biasa kutertawakan itu, biasa memulung sampah di depan rumah gubukku ini, sekarang aku termakan oleh tertawaanku sendiri. Aku, Markus ini, jatuh jadi pemulung jua.


Pagi-pagi benar, aku harus bangun menjelajah tempat-tempat sampah mengumpulkan ronsokan, takut kesiangan, takut yang lain akan mendahului. Penghasilanku terbilang kecil, cuma 5.000 per harinya.  Itu sudah lumayan. 


Tidak berselang lama, aku mulai menikmati tempat dan kerjaanku sebagai pemulung. Tidak peduli orang berpendapat apa tentang aku.


Sampai akhirnya malapetaka yang lain datang. Menurut undang-undang, bantaran kali tidak boleh dihuni. Kami yang berdiam di sini dianggap penduduk liar. Demi ketertiban, dan mengatasi kemacetan, katanya. Aku  dan orang-orang yang di sekitar bantaran kali diperingatkan tegas oleh petugas keamanan yang ditugaskan oleh PEMKOT Surabaya untuk mencari tempat lain. Tempat ini akan dikosongkan. Waktu penggusuran sudah ditentukan. Bagi yang tetap berdiam akan digusur secara paksa.


Aku pindah ke tempat yang tidak pasti. Di mana matahari mulai menghilang, mulai gelap, di situ  aku berteduh. Membaringkan kepala, ataupu bersandar pada benda-benda yang ada di sekitarku. Tidur bersama tumpukan sampah hasil pulungan. Pakaianku yang tinggal satu-satunya ini, baju lengang panjang dan celana panjang, baunya tidak karuan. Warnanya menyerupai tanah. Orang-orang merasa jijik melihatku apalagi mendekat.


Perut yang lapar tidak kuhiraukan. Yang kunanti, langit cepat terbuka, menemaniku dalam kegelapan, berkeliling memilah dan mengumpulkan sampah. Jika sudah cukup, kubelilah makanan untuk mengganjal perut. Kalaupun tidak, makanan sisa yang kutemukan di jalan atau di dalam ton sampah yang masih layak, ku makan jua. Dengan cara itu sampai sekarang aku masih bisa bertahan hidup, tak peduli orang berkata apa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar