Kamis, 20 Oktober 2011

Dari Aceh Menuju AsiaTenggara




Judul buku: Jangan Tulis Kami Teroris

Penulis: Linda Christanty

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Halaman: x + 147 halaman





JIKA di buku sebelumnya, Dari Jawa Menuju Atjeh, yang merupakan kumpulan catatan perjalanan, pemikiran, dan kepedulian Linda Cristanty terhadap sejumlah orang dari Jawa sampai Aceh yang mengalami kegetiran hidup dalam sistem kekuasaan dan sosial yang membungkam dan anti perbedaan. Misalnya, di situ, Linda bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, Wiji Thukul, penyair yang sejak 1998 hilang tanpa jejak, dan Dede Oetomo, tokoh Gaya Nusantara, serta tercatat pula Kebo, seorang preman yang dibakar massa di Jakarta.

Kali ini, Linda kembali menyapa pembaca dengan buku barunya berjudul Jangan Tulis Kami Teroris. Ini merupakan  kumpulan tulisan yang bertolak dari Aceh menuju kawasan yang lebih luas yaitu Asia Tenggara. Kumpulan tulisan ini merupakan hasil wawancara berbagai kalangan mulai dari anggota Forum Pembela Islam (FPI) dan toko Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga warga dari berbagai kalangan di Malaysia, petani Thailand Selatan, dan Kamboja.

Jangan Tulis Kami Teroris. Salah satu tulisan yang kemudian menjadi Judul buku ini bermula dari kunjungan rombongan Linda ke pesantren Darul Mujahiddin di Aceh. Dalam kunjungan itu, Linda ingin bertemu dengan Tengku Muslim, pemimpin pesantren tersebut guna mengetahui kebenaran dari pemberitaan di televisi yang mengabarkan pesantren Darul Mujahiddin dituduh sebagai saran teroris.

Ketika hendak memasuki kompleks pesantren itu, terdengar hardikan dari beberapa santri yang sedang berkumpul di posko dekat jalan masuk “Hai, ka jok ija krong! (hai, kau berikan kain sarung!)”. Mereka tidak terima Linda mengenakan celana panjang dan tidak berjilbab masuk ke rumah sang pemimpin. Saat rombongan kembali ke mobil yang ditumpangi dan bergerak menuju jalan raya. Sontak terdengar teriakan: Jangan tulis kami teroris.  

Dan, pada masa orde baru, ketika pemerintahan Soharto melarang perempuan-perempuan untuk berjilbab. Adik kandung penulis, Tata, menentang kebijakan itu karena menurut dia berjilbab itu pilihan hidup. Penentangan itu ketika menjelang kelulusannya. Ketika potret untuk foto ijasah sarjananya, ia diminta melepas jilbab. Tata menolak melepas jilbab. Akibatnya ia harus menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak akan menuntut apa pun di kemudian hari bila foto itu berdampak terhadap hidupnya, termasuk susah memperoleh pekerjaan.

Berbeda dengan Tata yang berjilbab karena pilihan. Donna Lestri, sekretaris kantor Aceh Feature salah satu orang terdekat penulis yang berjilbab. Donna mengenakan jilbab akibat penerapan wajib jilbab di Aceh. Ia mengenakan jilbab karena terpaksa. Suatu hari Donna mengenakan selendang, mengikuti suri tauladan pahlawan nasional Cut Nyak Dien, pejuang Islam Aceh dan pahlawan perang melawan kolonialisme Belanda. Cut Nyak Dien juga mengenakan celana panjang dengan rencong terselip di pinggang, bukan mengenakan rok seperti yang diwajibkan untuk perempuan di Meulaboh, Aceh Barat, atas nama syariat Islam itu. Pemaksaan penerapan jilbab di Aceh ini bersifat ahistoris. Gara-gara Donna tidak memakai jilbab, Donna sudah dua kali ditangkap polisi atau di Aceh populer disebut Wilayatul Hisbah (WH). Jika terulang lagi, Donna akan dicekam dalam penjara dengan waktu yang belum ditentukan. Dari cerita-cerita perempuan berjilbab ini yang dituangkan penulis dalam featurenya “Jilbab Dek Tata”.  

Juga feature tentang, Mengenang Hasan Tiro. Cerita ini berawal dari cerita Hasan Tiro, seorang pencetus dan pemimpin tertinggi Aceh Merdeka yang sangat berpengaruh, waktu itu berjuang mati-matian untuk kemerdekaan Aceh, serta mendelegasikan Aceh Merdeka mulai dari Pidie sampai Aceh Barat. Hingga pada akhirnya perjuangan itu berlanjut pada penyakit infeksi jangung, gangguan pernapasa dan leukemia yang dideritan Hasan Tiro. Penyakit itu membuat Tirto  meninggal  pada 3 Juni 2010 di usia menjelang 85 tahun.

Selain itu, masih banyak feature lainya yang menarik untuk disimak dalam buku ini seperti, Saya dan Islam, Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Semua Untuk Aceh Merdeka, Perempuan Penjaga Perdamaian, Sampai Jumpa di Idaho, Orang-orang Sabang, Bahaya Neofasisme, Perpecahan dalam Persatuan, dan Tahun Nol.

Dalam buku ini, Linda menyatuhkan buah-buah pemikirannya yang kritis, berani, mendalam serta menegaskan. Dengan narasi yang hidup pembaca dibuat hanyut kedalam pengalaman, tempat dan reportasi yang dituturkan penulis. Seoalah-olah pembaca ikut dan telibat di dalam situasi itu.

Tulisan-tulisan Linda Cristanty, lebih daripada sekedar catatan biasa. Linda mengungkap kegetiran hidup tokoh-tokoh dalam buku ini lewat proses jurnalistik dan menuliskannya secara satrawi, sebagai prosa. Membaca buku ini mata kita seolah dibuat tercelik atas kenyataan hidup yang sedang kita bangun bersama. Juga, membuka kesadaran kita bahwa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan bisa terjadi dengan mengatasnamakan apa saja baik itu suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan, demokrasi.

Buku Jangan Tulis Kami Teroris ini merupakan buku kesekian Linda Cristanty. Sebelumnya, sudah banyak tulisan Linda meraih beberapa penghargaan. Seperti kumpulan cerita pendeknya, Kuda Terbang Mario Pinto, meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2004. Esainya, “Kekerasan dan Militerisme  di Timor Leste”, mendapatkan penghargaan sebagai esai terbaik hak asasi manusia tahun 1998. Petikan novelnya tentang konflik politik dan tsunami di Aceh, Tongkat Sultan, telah diadaptasi dalam opera modern dan dipentaskan dalam pertemuan World PEN di Tokyo, Februari 2008. Cerita pendeknya yang berlatar belakang politik 1965, “Makan Malam”, menjadi bahan matapelajaran bahasa indonesia di SMA seluruh negara bagian New South Wales, Australia.

Di tahun 2010 buku cerita pendeknya, Rahasia Selma meraih Khatulistiwa Libeterary Award 2010 membuatnya meraih penghargaan sastra sebanyak dua kali dalam satu dekade. Sejumlah ceritanya telah diterjemahkan kedalam bahas Inggris dan Jerman. Kemudian pada tahun yang sama, Linda meraih penghargaan dari Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya Dari Jawa Menuju Atjeh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar