Kamis, 20 Oktober 2011

Dari Aceh Menuju AsiaTenggara




Judul buku: Jangan Tulis Kami Teroris

Penulis: Linda Christanty

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Halaman: x + 147 halaman





JIKA di buku sebelumnya, Dari Jawa Menuju Atjeh, yang merupakan kumpulan catatan perjalanan, pemikiran, dan kepedulian Linda Cristanty terhadap sejumlah orang dari Jawa sampai Aceh yang mengalami kegetiran hidup dalam sistem kekuasaan dan sosial yang membungkam dan anti perbedaan. Misalnya, di situ, Linda bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, Wiji Thukul, penyair yang sejak 1998 hilang tanpa jejak, dan Dede Oetomo, tokoh Gaya Nusantara, serta tercatat pula Kebo, seorang preman yang dibakar massa di Jakarta.

Kali ini, Linda kembali menyapa pembaca dengan buku barunya berjudul Jangan Tulis Kami Teroris. Ini merupakan  kumpulan tulisan yang bertolak dari Aceh menuju kawasan yang lebih luas yaitu Asia Tenggara. Kumpulan tulisan ini merupakan hasil wawancara berbagai kalangan mulai dari anggota Forum Pembela Islam (FPI) dan toko Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga warga dari berbagai kalangan di Malaysia, petani Thailand Selatan, dan Kamboja.

Jangan Tulis Kami Teroris. Salah satu tulisan yang kemudian menjadi Judul buku ini bermula dari kunjungan rombongan Linda ke pesantren Darul Mujahiddin di Aceh. Dalam kunjungan itu, Linda ingin bertemu dengan Tengku Muslim, pemimpin pesantren tersebut guna mengetahui kebenaran dari pemberitaan di televisi yang mengabarkan pesantren Darul Mujahiddin dituduh sebagai saran teroris.

Ketika hendak memasuki kompleks pesantren itu, terdengar hardikan dari beberapa santri yang sedang berkumpul di posko dekat jalan masuk “Hai, ka jok ija krong! (hai, kau berikan kain sarung!)”. Mereka tidak terima Linda mengenakan celana panjang dan tidak berjilbab masuk ke rumah sang pemimpin. Saat rombongan kembali ke mobil yang ditumpangi dan bergerak menuju jalan raya. Sontak terdengar teriakan: Jangan tulis kami teroris.  

Dan, pada masa orde baru, ketika pemerintahan Soharto melarang perempuan-perempuan untuk berjilbab. Adik kandung penulis, Tata, menentang kebijakan itu karena menurut dia berjilbab itu pilihan hidup. Penentangan itu ketika menjelang kelulusannya. Ketika potret untuk foto ijasah sarjananya, ia diminta melepas jilbab. Tata menolak melepas jilbab. Akibatnya ia harus menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak akan menuntut apa pun di kemudian hari bila foto itu berdampak terhadap hidupnya, termasuk susah memperoleh pekerjaan.

Berbeda dengan Tata yang berjilbab karena pilihan. Donna Lestri, sekretaris kantor Aceh Feature salah satu orang terdekat penulis yang berjilbab. Donna mengenakan jilbab akibat penerapan wajib jilbab di Aceh. Ia mengenakan jilbab karena terpaksa. Suatu hari Donna mengenakan selendang, mengikuti suri tauladan pahlawan nasional Cut Nyak Dien, pejuang Islam Aceh dan pahlawan perang melawan kolonialisme Belanda. Cut Nyak Dien juga mengenakan celana panjang dengan rencong terselip di pinggang, bukan mengenakan rok seperti yang diwajibkan untuk perempuan di Meulaboh, Aceh Barat, atas nama syariat Islam itu. Pemaksaan penerapan jilbab di Aceh ini bersifat ahistoris. Gara-gara Donna tidak memakai jilbab, Donna sudah dua kali ditangkap polisi atau di Aceh populer disebut Wilayatul Hisbah (WH). Jika terulang lagi, Donna akan dicekam dalam penjara dengan waktu yang belum ditentukan. Dari cerita-cerita perempuan berjilbab ini yang dituangkan penulis dalam featurenya “Jilbab Dek Tata”.  

Juga feature tentang, Mengenang Hasan Tiro. Cerita ini berawal dari cerita Hasan Tiro, seorang pencetus dan pemimpin tertinggi Aceh Merdeka yang sangat berpengaruh, waktu itu berjuang mati-matian untuk kemerdekaan Aceh, serta mendelegasikan Aceh Merdeka mulai dari Pidie sampai Aceh Barat. Hingga pada akhirnya perjuangan itu berlanjut pada penyakit infeksi jangung, gangguan pernapasa dan leukemia yang dideritan Hasan Tiro. Penyakit itu membuat Tirto  meninggal  pada 3 Juni 2010 di usia menjelang 85 tahun.

Selain itu, masih banyak feature lainya yang menarik untuk disimak dalam buku ini seperti, Saya dan Islam, Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Semua Untuk Aceh Merdeka, Perempuan Penjaga Perdamaian, Sampai Jumpa di Idaho, Orang-orang Sabang, Bahaya Neofasisme, Perpecahan dalam Persatuan, dan Tahun Nol.

Dalam buku ini, Linda menyatuhkan buah-buah pemikirannya yang kritis, berani, mendalam serta menegaskan. Dengan narasi yang hidup pembaca dibuat hanyut kedalam pengalaman, tempat dan reportasi yang dituturkan penulis. Seoalah-olah pembaca ikut dan telibat di dalam situasi itu.

Tulisan-tulisan Linda Cristanty, lebih daripada sekedar catatan biasa. Linda mengungkap kegetiran hidup tokoh-tokoh dalam buku ini lewat proses jurnalistik dan menuliskannya secara satrawi, sebagai prosa. Membaca buku ini mata kita seolah dibuat tercelik atas kenyataan hidup yang sedang kita bangun bersama. Juga, membuka kesadaran kita bahwa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan bisa terjadi dengan mengatasnamakan apa saja baik itu suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan, demokrasi.

Buku Jangan Tulis Kami Teroris ini merupakan buku kesekian Linda Cristanty. Sebelumnya, sudah banyak tulisan Linda meraih beberapa penghargaan. Seperti kumpulan cerita pendeknya, Kuda Terbang Mario Pinto, meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2004. Esainya, “Kekerasan dan Militerisme  di Timor Leste”, mendapatkan penghargaan sebagai esai terbaik hak asasi manusia tahun 1998. Petikan novelnya tentang konflik politik dan tsunami di Aceh, Tongkat Sultan, telah diadaptasi dalam opera modern dan dipentaskan dalam pertemuan World PEN di Tokyo, Februari 2008. Cerita pendeknya yang berlatar belakang politik 1965, “Makan Malam”, menjadi bahan matapelajaran bahasa indonesia di SMA seluruh negara bagian New South Wales, Australia.

Di tahun 2010 buku cerita pendeknya, Rahasia Selma meraih Khatulistiwa Libeterary Award 2010 membuatnya meraih penghargaan sastra sebanyak dua kali dalam satu dekade. Sejumlah ceritanya telah diterjemahkan kedalam bahas Inggris dan Jerman. Kemudian pada tahun yang sama, Linda meraih penghargaan dari Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya Dari Jawa Menuju Atjeh.

Mahasiswa Jepang Berkunjungi di Bernas Jogja

JOGJA- Tiga mahasiswa asal Jepang ditemani oleh seorang pemandu dari mahasiswa Sanata Dharma, Yoseph Pitados K, kemarin siang, Kamis (8/9) berkunjung di Harian Pagi Bernas Jogja Jalan IKIP PGRI Sonosewu Yokyakarta. Sebagai penerima Redaktur Senior, Y.B. Margantoro, Manajemen Iklan, Zubaedi, dan Sekretaris Korporat Bernas Jogja, Tedy Kartyadi.
Tiga mahasiwa itu adalah Misato Motegi, mahasiswa  Asia University semester tiga Fakultas Ekonomi Manajemen, Natsami Miwa, mahasiswa Asia University semester empat jurusan Public Relation, dan Mariko Tamai, mahasiswa Tokyo University of Foreign Study fakultas Bahasa semester tuju.
Kunjungan itu berkaitan dengan Program Pelatihan Bahasa dan Budaya Indonesia bagi orang asing di Lembaga Bahasa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta selama satu bulan, sekaligus study tour yang dimulai dari 17 Agustus 2011.
Saat berkunjung mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih, sedikit terbata-bata dengan logat Jepang yang masih sangat kentara, sesekali dibantu oleh pemandu mengajukan dan menjawab pertanyaan saat observasi dan wawancara. Pada kesempatan itu, mereka diajak menulis karya tulis dengan bahasa indonesia tentang pengalaman di Jogja. Karya  itu akan dipajang dikoran tersebut.
Menurut pemandu, Yoseph Pitados di Lembaga Pelatihan Bahasa Sanata Dharma mereka mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia selama satu bulan. Pelatiah itu berupa praktek bahasa indonesia dengan berintergrasi dengan masyarakat sekitar seperti mencari makan, naik becak dan berkunjung ketempat wisata.
Di antara tiga mahasiswa, Mariko Tamai sangat fasih menggunakan bahasa indonesia. Hal itu karena di Tokyo University of Foreign Study dia mengambil spesifikasi Bahasa Indonesia.  Menurut dia, bahasa Indonesia sangat menarik untuk dipelajari karena indonesia merupakan Negara besar,multikultur, kaya suku bangsa, dan padat populasi.
Guna memperkaya laporan study tour, tempat bersejarah yang tersebar di Jogja tidak lepas dari incaran mereka. Tiga mahasiswa yang suka dengan musik gamelang ini sudah berkunjung ke Malyaboro, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Keraton, Kota Gede, serta Taman Safari.
Tidak ketinggalan makanan dan buah-buahan menjadi incaran mereka. Natsami Miwa misalnya, dia lebih suka minum Jus apokat, nasi Gudeg, dan mangga. Menurut dia di Jepang mangga tidak semanis di Jogja. Mariko Tamai, buah semangka dan minum jahe menjadi kenikmatan sendiri. Sedangkan Misato Motegi lebih suka minum Degan.
Bagi mereka menjadi pengalaman tersendiri ketika melihat kendaraan sepeda motor lalu lalang di Jogja. Menurut mereka masyarakat Jepang mengandalkan mobil dan jalan kaki sebagai sarana trasportasi. Tidak ada sepeda motor. Kendaraan motor dinilai berbahaya bagi keselamatan. Hal ini juga yang melatarbelakangi mereka ketika menginjakan kaki di Jogja, pesan pertama dari kampus tempat mereka kuliah adalah menghindari kendaraan sepeda motor. 
Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 10/9/11

Pelatihan Jurnalistik Kampus Agar Berkesinambungan

JOGJA_Kepala Humas Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Parmonangan Manurung, ST, MT berharap, pelatihan bertema Pelatihan Jurnalistik Kampus dan Sekolah UKDY yang bekerjasama dengan Bernas Jogja dapat berkesinambungan. 


Hal itu diungkapkan dalam pembukaan pelatihan dan penandatanganan nota kesepahaman atau MOU di kampus UKDW Jalan Doktor Wahidin Sudirohusodo Yogyakarta, Sabtu (17/9).  MOU itu ditandatangani oleh Kepala Humas UKDW, Parmonangan Manurung dengan Redaktur Senior Bernas, Y.B. Margantoro disaksikan oleh para peserta pelatihan. Tujuan pelatihan ini adalah untuk mengembangkan media kampus setempat yakni, koran Duta Wacana dan SIMIX.


Menurut dia, pelatihan ini akan sangat bermanfaat. Dalam materi Jurnalistik Koran yang dibawakan oleh Redaktur Senior, Y.B. Margantoro, harapanya mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan ilmu tambahan tentang seluk beluk berita koran.


Dalam pelatihan itu, para mahasiswa UKDW diingatkan kembali dengan membuka wacana mereka tentang koran, harapan sebagai penulis koran, pengalaman sebagai penulis, dan hasil  serta ekspektasi yang ingin diperoleh dari pelatihan ini. 


Hasil yang diperoleh, kebanyakan dari mereka telah menulis atikel. Bahkan artikel mereka juga telah dimuat di media. Tidak heran harapan kedepan, mereka ingin menjadi penulis artikel. Hanya satu peserta yang ingin menjadi penulis fiksi.


Sebagai aksi konkrik dan rill dari pelatihan ini, para peseta yang terdiri dari: Heins Allan R.M Fakultas Teknik; Andre Wieka Kristanto, Fakultas Sistem Informasi; Agrivina Vivian G. Fakultas Manajemen Bisnis, Esty Anatalia Ambar Utami, Fakultas Teknologi Informasi, dan Titi Setiawati, Fakultas Teknik Informasi            menulis hasil karya berupa tulisan artikel tentang sesuatu yang dekat di linkungan tempat mereka tinggal.


Selain itu, peserta diberi kesempatan menggungkapkan hambatan-hambatan untuk mengembangkan potensi diri menjadi apa yang ingin dicapai. Selanjutnya pelatihan diakhiri dengan melakakukan kunjungan observasi dan wawancara ke Redaksi Harian Bernas Jogja. Pelatihan ini merupakan kelanjutan dari pelatihan sebelumnya, kemarin (16/9). Dan berakhir hari ini Sabtu (17/9). Ada pun sebagai pembicara antara lain, Budi Sutedjo, Ardiana, dan Elia.

Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 19/9/11

Suatu Hari di Bantaran Kali Jagir

 
Inilah yang terjadi ketika aku mengabaikan suara-suara tersebut, ketika aku meninggalkan orang-orang terdekatku di seberang sana tanpa bantuan maupun dukungan, tanpa pilihan atau apa pun juga. Inilah yang terjadi.


Kala itu Negaraku dilanda kekacauan. Jajak pendapat, sekaligus menentukan nasib sendiri yang diumumkan pada 4 September 1999 itu, menyisakan duka mendalam. Memporakporandakan segalanya: manusia dan kehidupannya, rumah atau gedung, dan semua isinya. 


Semuanya dihancurkan. Hampir tidak ada bekas. Kubu Indonesia yang menolak kemerdekaan, meluapkan kemarahan dengan membakar rumah warga, gedung pemerintah, toko-toko besar, dan membunuh warga yang dicurigai terlibat dalam proses kemerdekaan bahkan masyarakat kecil yang tidak tahu sama sekali duduk perkarapun menjadi korban. Daerahku dikepung dan dikuasai oleh kubu Indonesia. Aku tidak punya pilihan, terpaksa mengungsi ke Kupang walaupun aku, Markus ini, menolak mentah-mentah integrasi.


Bangkai-bangkai mayat berserakan dimana-mana ketika truk, Hino, milik tentara Indonesia yang ditugaskan di Timor-Leste  sejak invasi pada 7 Desember 1975 itu, kutumpangi menyusuri jalan menuju pelabuhan Com, suatu daerah yang terletak di pantai utara Lospalos, tempat  orang-orang menunggu tumpangan kapal, menuju ke Kupang, Indonesia. Demi keselamatan hidup, mereka meningalkan semuanya, ada yang datang seorang diri,  berpisah dengan keluarga, juga ada yang meninggalkan jasat keluarga tanpa dimakamkan. Tragis.


Aku melihat rumah kecilku yang tidak jauh dari keramaian itu pun telah dimusnahkan, ketika hino itu melintas.  Aku  melihat sendiri dengan mata kepalaku, aku melihat beberapa orang berbadan kekar, berpakaian loren, kepala diikat bendera merah puti, lengkap dengan senjata. Mereka  membakarnya, lalu pergi begitu saja. Aku hanya bisa melihat asap-asap melambung tinggi di udara menutupi rupa rumahku, kobaran api melambung tinggi. Sesekali bunyi senapan peluruh mengagetkan aku dari larutan kesedihan.  


Hanya hitungan dua hari, aku telah melangkah jauh dari negeriku. Melintasi gunung dan lautan. Aku mengungsi dengan kapal. Kapal  angkatan laut yang digerakkan untuk mengangkut pengungsi, selama kondisi Timor memanas paskah jajak pendapat.  


Aku tidak sempat menikmati kemerdekaan itu, hanya sesaat. Ketika kemerdekaan itu disiarkan pada stasun tv tempat kami menanti bersama keluarga, hasil pemilihan jajak pendapat. Dengan sorak-sorak. Hore! Hore! Kita menang! bersama keluarga, tapi hanya berlangsung di dalam rumah. Suara itu tidak boleh pecah dan terdengar hingga ke luar. Mereka tidak segan-segan menghabisi nyawamu.  


Berlanjut kisah.  Tepat 5 Desember 1999 aku sampai di Surabaya.  Bantaran kali Jagir, Wonokromo, menjadi tempat awal menyambung hidup. Aku gunakan uang hasil bantuan pemerintah indonesia membangun rumah kecil di bantaran kali.   Rumah itu layaknya gubuk kecil. Aku tingal seorang diri sebatang kara.


Tidak seperti di Kupang dulu di mana aku tingal di tenda-tenda yang waktu itu sudah disipkan oleh pemerintah Indonesia di Tuapukan, bersama pengungsi lainya. Bila waktu makan tiba,  tinggal mengambil diposko-posko terdekat.


Di Surabaya ini, seiring waktu, uangku habis tidak tersisa sepersenpun. Uang bantuan yang dijanjikan pemerintah indonesia untuk menyambung hidup telah dihentikan. Aku tidak bisa berharap banyak. Kehidupanku berubah. Aku menjadi pemulung. Pemulung tua yang biasa kutertawakan itu, biasa memulung sampah di depan rumah gubukku ini, sekarang aku termakan oleh tertawaanku sendiri. Aku, Markus ini, jatuh jadi pemulung jua.


Pagi-pagi benar, aku harus bangun menjelajah tempat-tempat sampah mengumpulkan ronsokan, takut kesiangan, takut yang lain akan mendahului. Penghasilanku terbilang kecil, cuma 5.000 per harinya.  Itu sudah lumayan. 


Tidak berselang lama, aku mulai menikmati tempat dan kerjaanku sebagai pemulung. Tidak peduli orang berpendapat apa tentang aku.


Sampai akhirnya malapetaka yang lain datang. Menurut undang-undang, bantaran kali tidak boleh dihuni. Kami yang berdiam di sini dianggap penduduk liar. Demi ketertiban, dan mengatasi kemacetan, katanya. Aku  dan orang-orang yang di sekitar bantaran kali diperingatkan tegas oleh petugas keamanan yang ditugaskan oleh PEMKOT Surabaya untuk mencari tempat lain. Tempat ini akan dikosongkan. Waktu penggusuran sudah ditentukan. Bagi yang tetap berdiam akan digusur secara paksa.


Aku pindah ke tempat yang tidak pasti. Di mana matahari mulai menghilang, mulai gelap, di situ  aku berteduh. Membaringkan kepala, ataupu bersandar pada benda-benda yang ada di sekitarku. Tidur bersama tumpukan sampah hasil pulungan. Pakaianku yang tinggal satu-satunya ini, baju lengang panjang dan celana panjang, baunya tidak karuan. Warnanya menyerupai tanah. Orang-orang merasa jijik melihatku apalagi mendekat.


Perut yang lapar tidak kuhiraukan. Yang kunanti, langit cepat terbuka, menemaniku dalam kegelapan, berkeliling memilah dan mengumpulkan sampah. Jika sudah cukup, kubelilah makanan untuk mengganjal perut. Kalaupun tidak, makanan sisa yang kutemukan di jalan atau di dalam ton sampah yang masih layak, ku makan jua. Dengan cara itu sampai sekarang aku masih bisa bertahan hidup, tak peduli orang berkata apa.


Pemberdayaan Pemuda Butuh Dukungan


Pemuda merupakan bagian dari masyarakat yang berperan penting sebagai motor penggerak pembangunan. Oleh karena itu Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk memperdaya dan membentuk karakter pemudah guna menumbuhkan jiwa kompetitif. Kompentitif itu baik di dalam negeri maupun kanca internasional.


Seperti pelatihan Jurnalisti  yang diselenggarakan oleh Balai Pemuda dan Olahraga Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provisi Daerah Istimewa Yogyakarta (BPO Disdikpora DIY) pada Jumat (16/9) di Bernas Jogja yang dihadiri hampir 30 pemuda pilihan dari provinsi DIK.
Pelatihan yang terealisis atas kerjasama Bernas Jogja dengan BPO Disdikpora DIY ini merupakan lanjutan dari pelatihan Jurnalistik dan Reportase yang dilaksanakan di Hotel Amarta kemarin (15/9), Jalan Wates Km 2,5 Yogyakarta. Dalam pelatihan jurnalistik peserta ditugaskan menuliskan hasil karya yang kemudian dikumpulin langsung. karya itu akan diseleksi dan dipadang di koran Harian Pagi Bernas Jogja.


Selain itu, peserta juga berkesempatan berkunjung ke percetakan Bernas Jalan Patehan Tenggah dini hari guna melihat langsung proses percetakan melengkapi teori dan praktek yang telah dilaksanakan pada pagi hari.


Menurut salah satu peserta pelatihan, Wahyu Kurniasih dalam tulisannya saat pelatihan menulis memaparkan, proram ini sangat membantu dalam membentuk karakter pemuda, lebih-lebih arus globalisasi serta kemajuan teknologi yang sering kali disalahgunakan oleh sebagian pemuda menjadikan pemuda tidak produktif. Mislnya  tontonan yang tidak mendidik dan game-game yang membuat seseorang malas untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dan produktif. 

 
Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 17/9/11


Kramat Tunggak yang Tidak Kramat

PUSTAKA

Judul buku         :  Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak
Penulis              :  Endang R. Sedyaningsih-Mamahit
Penerbit           :  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Halaman buku  :  liii+ 250 halaman


Enambelas tahun telah berlalu. Kramat Tunggak yang terkenal sebagai wilayah lokalisasi di pinggiran Jakarta, dekat pelabuhan Tanjung Priok di wilayah Jakarta Utara pada zaman itu merupakan tempat pelacuran terbesar di Indonesia. Ketika menjelang malam, tempat itu diselimuti keremangan, canda-tawa setengah terdengar, kepulan asap rokok, semua memenuhi sudut-sudut kompleks pelacuran. Musik dangdut ingar-bingar menyemarakkan suasana. Tubuh-tubuh gemulai mulai beraksi, mencari pelabuhan sekejap, dalam pelukan basa-basi.


Dulu, salah satu Panti Rehabilitasi milik Pemerintah Daerah Jakarta dioperasikan di Kramat Tunggak untuk menampung dan mensosialisasikan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS kepada para pekerja seks. Berbagai program digelar, di antaranya melalui bimbingan ketrampilan, mental, dan sosial. Sekarang program itu musnah, sedangkan pekerja seksnya hilang tanpa jejak.


Kini, Kramat Tunggak resmi ditutup oleh Pemerintah DKI.  Kramat Tunggak disulap oleh pemerintah menjadi Mesjid Keagungan Islamic Center sebagai potret modern Kramat Tunggal- tempat dikuburkan kisah pahit kehidupan anak manusia. Di tempat ini pula setumpuk harapan ditenggelamkan tanpa banyak pertimbangan selain mimpi meraih bintang. Namun, seperti diibaratkan penulis, ketika suara pembuluh tersumbat, tubuh akan giat membentuk pembuluh baru (kolateral) agar aliran darah dapat terus mengalir. Begitu juga yang terjadi dengan Kramat Tunggak. Ke manakah aliran baru itu akan bermuara?


Kemauaan sendiri atau bukan, sebenarnya mereka bagaikan makluk yang terjebak dalam perangkap yang sempit. Keberadaan mereka dikecam publik. Ada yang benci dirinya, butuh dirinya, berlutut mencintainya, ada pula yang kejam menyiksa dirinya.


Dosakah yang mereka kerjakan. Sucikah mereka yang datang. Kadang dia senyum dalam tangis, kadang dia menangis di dalam senyuman. Seperti komentar yang diungkapkan oleh Maria Hartiningsih, wartawan Kompas dalam buku Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, bahwa argumen yang menyatakan mereka yang terjebak menjadi pemberi layanan seks dalam pusaran industri seks komersial, khususnya untuk kelas menengah bawah, melakukan jenis ”kerja” itu sebagai pilihan bebas dipatahkan argumentasinya.


Menunut Hartiningsih, dalam industri seks, prostitusi bukan sekadar bisnis layanan seks, lebih dari itu, adalah pertarungan yang sangat timpang dengan “locus” tubuh perempuan. Maka, andai harus menyebut kata “dosa”, kata itu seharusnya ditujukan kepada mereka pemberi layanan: dari penjaja makanan, minuman, rokok, tukang kredit, aparat, germo, klien, “pacar”, “suami”, orangtua dan jaringan makelar, serta semua pihak yang menjadi bagian dari bisnis kriminal perdagangan orang, sampai politisi dan pembuat kebijakan publik.  Bukan pekerja seks!


Berbeda dengan Baby Jim Aditya, Psikolog, Hypnotherapist, AIDS Activist, Prison Specialist dalam mengisi latar belakang buku ini. Dia menyarangkan Indonesia untuk mengadopsi negara Thailand dan Belanda dalam mengendalikan Infeksi Menular Seksul dan HIV/AIDS serta melindungi perempuan dari tindakan kekerasan dan eksploitasi oleh pelanggan.


Bagi Aditya, di negara tersebut, syarat mutlat yang harus dituruti oleh pelanggan adalah menggunakan kondom. Di kamar tersedia wastafel tempat laki-laki pelanggan itu harus cebok dulu sambil mengurut kelaminnya sendiri, disaksikan oleh si pekerja seks untuk melihat apakah ada nanah yang keluar atau tidak yang merupakan indikasi adanya infeksi menular seksual. Jika terbukti pekerja seks berhak menolak melayani klien.


Dan, untuk menghindari kekerasan yang mungkin dilakukan oleh pelanggan, tiap kamar dilengkapi dengan tombol alarm yang dipasang di tempat tidur yang terhubung ke kantor polisi terdekat, sehingga pelanggan yang mabuk atau tidak mau membayar langsung ditangani. Selengkapnya akan dibahas lebih lanjut dalam buku ini.


Buku ini mengangkat gambaran menarik mengenai latar belakang sosial ratusan perempuan yang bekerja sebagai penghibur seks di lokasi pelacuran Kramat Tunggak. Apa yang terungkap dalam buku ini sebagian besar bukanlah gambaran keadaan pada masa sekarang. Kisah itu terjadi 16 tahun lalu. Buku ini juga pernah terbit pada 1999 melalui percetakan Pustaka Sinar Harapan.


Untuk menengok lagi apa yang telah dilakukan dan terjadi serta memberikan saran praktis agar semua program pemerintah lebih efektif dalam mencegah IMS di kalangan kompleks pelacuran, Endang R. Sedyaningsih-Mamahit, mengorek lagi karya tulisnya Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak yang merupakan karya disertasi program doktor di Harvard School of Public Health, Boston, Amerika Serikat, yang berfokus pada perilaku seksual mereka yang beresiko tinggi: mereka dapat tertular dan menularkan infeksi menular seksual atau IMS, termasuk HIV/AIDS ini, membuat cetakan yang kedua lewat percetakan Kepustakaan Populer Gramedia.


Bukan hanya meneliti apa yang menjadi fokus penelitian. Dia juga meneliti semua yang dinilai menarik di Kramat Tunggak yang kemudian dituliskan semua dalam buku ini baik itu dalam bentuk cerita pendek berdasarkan hasil observasi, wawancara maupun pengalaman pribadi.


Buku cetakan kedua ini isinya tidak beda dengan cetakan sebelumnya. Hanya saja pengemasanya lebih menarik karena pembaca dipermudah dengan pengisian pesan-pesan kecil tentang inti tulisan pada setiap bab dan sub-sub bab. Juga dilengkapi foto-foto Kramat Tunggak zaman dulu, dengan perbandingan foto kramat Tunggak sekarang.


Selain itu dilengkapi dengan beberapa tempat lokalisasi yang tersebar di Indonesia sebelum dan sesudah Kramat Tunggak yang dicurigai sebagai tempat menyebarnya para pekerja seks Kramat Tunggak paska ditutup secara sah oleh Pemerintah DKI 16 tahun yang lalu. 


Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 19/9/11

Semangat Pelayanan Suster-Suster SSpS

 Suster-suster Abadi Roh Kudus atau Servarum Spiritus Sancti (SSpS) merupakan Kongregasi Religius Misioner yang bertujuan mengambil bagian dalam pengembangan Kerajaan Allah. Sesuai dengan visi hidup pendirinya, St. Arnoldus Janssen,  yaitu “Hiduplah Allah Tritunggal Dalam Hati Kita dan Dalam Umat Manusia.”


Dengan semangat dan kesediaan, para Suster SSpS meyerahkan hidup mereka dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Hormat, cinta, belarasa dan solidaritas adalah empat nilai misi Kongregasi yang menjadi arah dan fokus pelayanan para suster Misi Abdi Roh Kudus. Dengan menghidupi nilai-nilai tersebut mereka menghayati kaul dalam komunitas dan misi agar semua memperoleh hidup berlimpah.


Kongregasi ini berdiri pada 8 Desember 1889. Berpusat di Roma, Italia dengan rumah induk di Steyl, Belanda. Dan berdiri atas cita-cita St. Arnoldus Janssen, yaitu ingin mendirikan sebuah rumah missioner. Rumah yang bisa ditempati oleh para pengembara yang berkarya menyebarkan kabar gembira keseluru dunia sejalan dengan misi Kongregasi  yaitu ingin Mewartakan Kabar Gembira Kerajaan Allah.


Keberadaan mereka menyebar di seluruh dunia. Di Benua Eropa, Afrika, Amerika, Australia dan Asia. Di Eropa misalnya berpencar di Negara Italia, Jerman, Swiss, Belanda, Spanyol, Inggris, Irlandia, Polandia, Rusia, Ukrainia, Romania, Slovakia dan Czecko.
Untuk  Afrika mereka tersebar di Negara Ghana, Etiopia, Mozambique, Togo, Beni, Botswana, Zaambia dan Afrika Selatan. Dan Benua America, menyebar di Amerika Serikat, Antaqua, Barbuda, St. Kitts, Argentina, Brasalia, Chile, Bolivia, Mexico, Cuba, dan Paraquay. Sedangkan di Australia dan Asia di Taiwan, Jepang, Korea, Filipina, India, Australia, Papua New Guinea, Timor Leste dan Indonesia.


Di Indonesia Kongregasi itu berada di Jawa, Flores Timur, Flores Barat, dan Kalimantan. Provinsi Jawa berpusat di Surabaya, meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lombok, Pangkalpinang, Waris Papua. Surabaya dipilih sebagai tempat berkarya. Karya itu terbagi dalam berbagai bagian, bidang Kesehatan, Pendidikan, Sosio-Pastoral, Patoral Care, Eco Patoral, JPIC, Rumah Formasi, dan bidang Emergency Respon.    


Di bidang pendidikan, didirikan  SMP dan SMA Santa Agnes, Sekolah Mater Amabilis, TK-SDK St. Maria, hingga Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St. Vincentius a Paulo. Juga mendirikan Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo, Rumah Sakit Budi Rahayu Blitar, Rumah  Bersalin  (BKIA), Poliklinik Margi Rahayu, Rumah Bersalin (BKIA), dan Poliklinik Pantisila.


Selain itu juga didirikan rumah Sosio Pastoral yang tersebar di beberapa kota di antaranya, Rumah Khalwat Syalom, Biara St. Martha Darmaningsih, Susteran Maria Helena Sumatra, Biara Josepha Stenmanns Sumatra. Sedangkan Rumah Formasi, didirikan Novisial SSpS Batu dan Rumah Prenovis di Malang, Aspiran di Blitar.


Mereka juga berkarya melayani masyarakat yang mengalami bencana alam, yang mereka namakan Bidang pelayanan Emergency Respon. Bencana yang melanda Aceh, Nias Sumatera Selatan, Madura, Mojokerto, Banjarnegara, Bantul, dan Sleman misalnya. Mereka melayani dengan memberikan bantuan berupa material dan non materil.


Di Yogya, waktu bencana Bantul dan Sleman, mereka memberikan beberapa bantuan yang ditujukan ke 150 titik yang terkena bencana. Bantuan itu di antaranya; memberikan pelayanan kesehatan, bantuan sembako, hingga memberikan bantuan peralatan dan bahan bangunan untuk mendirikan tempat tinggal sementara bagi 250 kepala keluarga yang tersebar di Bantul dan Sleman.


Menurut Pemimpin Komunitas Roh Suci, Sr. Maria Chistina SSpS cabang Yogya, selain mendirikan SSpS, St. Arnoldus Janssen, juga mendirikan sebuah rumah missioner Serikat Sabda Allah (SVD) untuk para  Imam dan Bruder. Ada pula Suster-suster Abdi Roh Kudus  Adorasi Abadi (SSpS AP) yang dikhususkan untuk para Suster kontemplatif.


Para  Suster ini  kontemlatif pusat di Amerika. Di Indonesia mereka berdomisili di Ruteng, Flores. Kehidupan  seorang Suster Abdi Roh Kudus Adorasi Abadi berpusat pada Ekaristi yaitu memproduksi Hosti. Selain itu tugas utama seorang Abdi adalah Mendoakan seluruh umat manusia. Aktivitas itu dilakukan setiap hari secara bergantian.


Hanya dalam terang Iman, cara hidup dan pengabdian para Suster dapat dimengerti. Menurut kongregasi ini, kesetiaan kepada Allah berarti kesetiaan kepada Kongregasi dalam tugas pelayanan misi gereja melalui doa, kurban, silih dan kesaksian hidup.


Dalam pelayanan misi gereja mereka juga mengembangkan bakat dan kemampuan intelektual seperti musik, seni, teknik, dan berbagai ketrampilan yang berguna bagi tercapainya tujuan kongregasi.


Untuk seorang Abdi Roh Kudus, setiap hari harus merupakan sebuah Pentekosta baru, setiap nafas, “Datanglah Roh Kudus” setiap berbuat, “Utuslah RohMu,” dan  setiap denyutan jantung “Tuhan Yesus” utuslah Roh Kudus yang berasal dari Bapa Kami.


Ketiga Kongregasi yang didirikan oleh St. Arnoldus Janssen beserta rekan pendirinya Beata Helena Stollenwerk dan Beata Hendrina Stenmanns ini dilindungi oleh beberapa Santa antara lain, St. Scolastika, St. Hildegardis, St. Katarina dari Siena, St. Sisilia, St. Theresia kanak-kanak Yesus, dan St. Maria Mardalena yang selalu melindungi sehingga tetap berkarya hingga sekarang.

Terbit di Harian Pagi Bernas Jogja, 1/10/11