Judul buku: Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis: Linda Christanty
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Halaman: x + 147 halaman
JIKA di buku sebelumnya, Dari Jawa Menuju Atjeh, yang merupakan kumpulan catatan perjalanan, pemikiran, dan kepedulian Linda Cristanty terhadap sejumlah orang dari Jawa sampai Aceh yang mengalami kegetiran hidup dalam sistem kekuasaan dan sosial yang membungkam dan anti perbedaan. Misalnya, di situ, Linda bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, Wiji Thukul, penyair yang sejak 1998 hilang tanpa jejak, dan Dede Oetomo, tokoh Gaya Nusantara, serta tercatat pula Kebo, seorang preman yang dibakar massa di Jakarta.
Kali ini, Linda kembali menyapa
pembaca dengan buku barunya berjudul Jangan Tulis Kami Teroris. Ini merupakan
kumpulan tulisan yang bertolak dari Aceh menuju kawasan yang lebih luas
yaitu Asia Tenggara. Kumpulan tulisan ini merupakan hasil wawancara berbagai
kalangan mulai dari anggota Forum Pembela Islam (FPI) dan toko Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), hingga warga dari berbagai kalangan di Malaysia, petani Thailand
Selatan, dan Kamboja.
Jangan Tulis Kami Teroris.
Salah satu tulisan yang kemudian menjadi Judul buku ini bermula dari kunjungan
rombongan Linda ke pesantren Darul Mujahiddin di Aceh. Dalam kunjungan itu,
Linda ingin bertemu dengan Tengku Muslim, pemimpin pesantren tersebut guna
mengetahui kebenaran dari pemberitaan di televisi yang mengabarkan pesantren
Darul Mujahiddin dituduh sebagai saran teroris.
Ketika hendak memasuki kompleks
pesantren itu, terdengar hardikan dari beberapa santri yang sedang berkumpul di
posko dekat jalan masuk “Hai, ka jok ija krong! (hai, kau berikan kain
sarung!)”. Mereka tidak terima Linda mengenakan celana panjang dan tidak
berjilbab masuk ke rumah sang pemimpin. Saat rombongan kembali ke mobil yang
ditumpangi dan bergerak menuju jalan raya. Sontak terdengar teriakan: Jangan
tulis kami teroris.
Dan, pada masa orde baru, ketika
pemerintahan Soharto melarang perempuan-perempuan untuk berjilbab. Adik kandung
penulis, Tata, menentang kebijakan itu karena menurut dia berjilbab itu pilihan
hidup. Penentangan itu ketika menjelang kelulusannya. Ketika potret untuk foto
ijasah sarjananya, ia diminta melepas jilbab. Tata menolak melepas jilbab.
Akibatnya ia harus menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa ia
tidak akan menuntut apa pun di kemudian hari bila foto itu berdampak terhadap
hidupnya, termasuk susah memperoleh pekerjaan.
Berbeda dengan Tata yang
berjilbab karena pilihan. Donna Lestri, sekretaris kantor Aceh Feature salah
satu orang terdekat penulis yang berjilbab. Donna mengenakan jilbab akibat
penerapan wajib jilbab di Aceh. Ia mengenakan jilbab karena terpaksa. Suatu
hari Donna mengenakan selendang, mengikuti suri tauladan pahlawan nasional Cut Nyak
Dien, pejuang Islam Aceh dan pahlawan perang melawan kolonialisme Belanda. Cut
Nyak Dien juga mengenakan celana panjang dengan rencong terselip di pinggang,
bukan mengenakan rok seperti yang diwajibkan untuk perempuan di Meulaboh, Aceh
Barat, atas nama syariat Islam itu. Pemaksaan penerapan jilbab di Aceh ini
bersifat ahistoris. Gara-gara Donna tidak memakai jilbab, Donna sudah dua kali
ditangkap polisi atau di Aceh populer disebut Wilayatul Hisbah (WH). Jika
terulang lagi, Donna akan dicekam dalam penjara dengan waktu yang belum
ditentukan. Dari cerita-cerita perempuan berjilbab ini yang dituangkan penulis
dalam featurenya “Jilbab Dek Tata”.
Juga feature tentang, Mengenang
Hasan Tiro. Cerita ini berawal dari cerita Hasan Tiro, seorang pencetus dan
pemimpin tertinggi Aceh Merdeka yang sangat berpengaruh, waktu itu berjuang
mati-matian untuk kemerdekaan Aceh, serta mendelegasikan Aceh Merdeka mulai
dari Pidie sampai Aceh Barat. Hingga pada akhirnya perjuangan itu berlanjut
pada penyakit infeksi jangung, gangguan pernapasa dan leukemia yang dideritan
Hasan Tiro. Penyakit itu membuat Tirto meninggal pada 3 Juni 2010
di usia menjelang 85 tahun.
Selain itu, masih banyak feature
lainya yang menarik untuk disimak dalam buku ini seperti, Saya dan Islam,
Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Semua Untuk Aceh Merdeka, Perempuan Penjaga
Perdamaian, Sampai Jumpa di Idaho, Orang-orang Sabang, Bahaya Neofasisme,
Perpecahan dalam Persatuan, dan Tahun Nol.
Dalam buku ini, Linda
menyatuhkan buah-buah pemikirannya yang kritis, berani, mendalam serta
menegaskan. Dengan narasi yang hidup pembaca dibuat hanyut kedalam pengalaman,
tempat dan reportasi yang dituturkan penulis. Seoalah-olah pembaca ikut dan
telibat di dalam situasi itu.
Tulisan-tulisan Linda Cristanty,
lebih daripada sekedar catatan biasa. Linda mengungkap kegetiran hidup
tokoh-tokoh dalam buku ini lewat proses jurnalistik dan menuliskannya secara
satrawi, sebagai prosa. Membaca buku ini mata kita seolah dibuat tercelik atas
kenyataan hidup yang sedang kita bangun bersama. Juga, membuka kesadaran kita
bahwa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan bisa terjadi dengan mengatasnamakan
apa saja baik itu suku, bangsa, agama, komunisme, nasionalisme, dan bahkan,
demokrasi.
Buku Jangan Tulis Kami Teroris
ini merupakan buku kesekian Linda Cristanty. Sebelumnya, sudah banyak tulisan
Linda meraih beberapa penghargaan. Seperti kumpulan cerita pendeknya, Kuda
Terbang Mario Pinto, meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2004.
Esainya, “Kekerasan dan Militerisme di Timor Leste”, mendapatkan
penghargaan sebagai esai terbaik hak asasi manusia tahun 1998. Petikan novelnya
tentang konflik politik dan tsunami di Aceh, Tongkat Sultan, telah
diadaptasi dalam opera modern dan dipentaskan dalam pertemuan World PEN di
Tokyo, Februari 2008. Cerita pendeknya yang berlatar belakang politik 1965,
“Makan Malam”, menjadi bahan matapelajaran bahasa indonesia di SMA seluruh
negara bagian New South Wales, Australia.
Di tahun 2010 buku cerita
pendeknya, Rahasia Selma meraih Khatulistiwa Libeterary Award 2010
membuatnya meraih penghargaan sastra sebanyak dua kali dalam satu dekade.
Sejumlah ceritanya telah diterjemahkan kedalam bahas Inggris dan Jerman.
Kemudian pada tahun yang sama, Linda meraih penghargaan dari Pusat Bahasa,
Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya Dari Jawa
Menuju Atjeh.