Selasa, 30 Agustus 2011

Dendang Anak Jalanan

Aku anak pemulung yang
selalu diejek.
Aku pantas mendapatkanya,
Tapi jangan remehkan aku,
Katamu, aku tidak bisa menjadi seseorang,
Betul! Karena aku bukan keturunan orang berada.
Kedua orangtuaku pemulung.
Penghasilanya pun pas-pasan,
Aku akui,



Bukankah itu bukan tolak ukur?
Aku pernah melihat coretan kertas,
Waktu  mengumpulkan rongsokan,
Kemauan dan tekat kuat serta kerja keras adalah jalan satu-satunya mencapai sesuatu.

Kupegang kata-kata itu,
Akan kutunjukan pada mereka yang mengejek aku,
Biar mereka tahu,
Aku bisa!
Keterbatasan bukan halangan bagiku.


Aku ingin menjadi seorang journalist,
Biar dapat kutulis semua kehidupan orang-orang marjinal,
Aku ingin mereka diperhatikan,
Perjuangan hidupnya jangan diremehkan,
Mereka Pelaut ulung, mampu lewati badai dan ombak yang menerjang.

Waria dan Kemerdekaan

Kemerdekaan Republik Indonesia telah mencapai 66 tahun. Umur yang tidak kecil untuk kemerdekaan ini. Namun apakah kemerdekaan ini sudah dinikmati oleh semua lapisan warga negara?


Tidak! Kemerdekaan itu hanya dirasakan oleh orang dan kelompok tertentu saja. Hidup dan beraktivitas tanpa tendesi apapapun. Sakin nikmatnya kemerdekaan itu, banyak yang menyalagunakan untuk kepentingan individu yang merugika bangsa dan Negara. Lihat saja beberapa kasus KKN yang menjerumuskan beberapa Pejabat Negara ke jeruji besi. Bahkan keluar masuk jeruji besi dengan kasus yang sama. Kemerdekaan itu tidak dioptimalkan dengan baik sebagai upaya penghormatan kepada para Heroi yang telah berjasa memperjuangkan kemerdekaan ini dengan mengorbankan nyawa.


Perlu kita tengok bahwa masih banyak orang diluar sana yang belum menikmati kemerdekaanya. Mereka belum bisa menikmati kemerdekaan ini  layaknya warga Negara yang hidup, tinggal dan menetap dengan aman dan nyaman. Hak dan martabat sebagai makluk ciptaan Tuhan dalam warga Negara masih ditindas.


Sebut saja kaum waria. Keberadaanya masih dikucilkan bahkan belum diakui masyarakat dan pemerintah. Padahal sebagai warga Negara dan umat ciptaan Tuhan mereka berhak atas kebebasan itu. Harusnya kita memiliki hak yang sama yaitu hidup, tinggal, bersuara, mempertahankan hidup serta berekspresi. Kita harus dapat mengkontruksi perbedaan dengan menerima, mengakui dan menghargai perbedaan itu. Seperti slogan Bhineka Tunggal Ika yang berbunyi Berbeda-beda Tapi Satu Juga.


Paradigma kita tentang pluralisme tentunya harus diperluas, jangan terkotak pada satu wacana bahwa agama dan etika mengharamkan. Perlu dicamkan, bahwa, selama ini agama mengakui keberadaan mereka hanya saja melarang keras pasangan berbeda jenis (laki-laki atau perempuan-perempuan) untuk hidup bersama. Sedangkan penolakan berdasarkan etika itu karena adanya pemikiran dan pengalaman bahwa dari dulu sampai sekarang tidak ada kehidupan semacam itu. Seolah-olah  masyarakat dikejutkan dengan keberadaan itu sehingga gampang menyimpulkan antara benar dan salah. Padahal itu merupakan dua hal yang berbeda.


Akibatnya keberadaan mereka dianggap sesuatu yang “aib” di mata masyarakat dan Negara. Hak dan martabatnya untuk mengekspresikan diri sesuai dengan talentanya dikucilkan. Padahal kontribusi mereka untuk kemerdekaan ini perlu diacungi jempol.   


Mereka bekipra dengan kominitas yang dibentuk Keluarga Besar Waria Yogyakarta (KEBAYA) dan  Sampai Disini Tuhan Masih Menolong (EBENEZER) merangkul orang-orang kecil antara lain anak-anak jalanan, anak kurang mampu, anak-anak pengamen dengan memberikan pendidikan menulis, membaca, serta menyalurkan buku bagi mereka. Kepedulian terhadap orang miskin sangat besar. Mereka bahkan melindungi anak-anak itu dari berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan orang-orang yang berkelas kecukupan. Apakah anda melakukan hal yang demikian?


Tidak ada salahnya kita saling mengakui, menerima dan menghargai perbedaan. Biarlah masing-masing orang mempertanggung jawabakannya di akhirat. Jangan mengadili mereka secara sepihak. Biarkan mereka berekspresi menikmati kemerdekaan ini.


Perbedaan bukan halangan bagi kita untuk berkreasi, melakukan sesuatu mengisi kemerdekaan ini untuk pembangunan Negara Republik Indonesia yang lebih baik. Mari kita rangkul dan kontruksi perbedaan ini dengan menerima dan menghargai satu sama lain.


Implementasi Bhineka Tunggal Ika

Undang-undang dasar kenegaraan kita berpijar dari perbedaan atau Bhineka Tunggal Ika bahwa berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Jadi tentu undang-undang kenegaraan kita mengakui dan melegalkan perbedaan. Apakah implementasinya juga demikian? 


Berkaca dari konflik karena perbedaan yang sering terjadi di Negara kita, nampaknya kita belum siap mengimplementasikanya. Sudah cukup jauh kita melangkah mengibarkan slogan itu. Harusnya hal itu tidak lagi dipertanyakan. Ibaratnya kita sudah cukup dewasa, kedewasaan itu membuat kita mempunyai frame yang luas akan perbedaan, mampu mengkontruksi perbedaan dengan saling menerima dan menghargai. Semoga saya salah.


Pertanyaan yang lain kemudian muncul jika benar kapan kita akan mengiplementasikannya?


Kramaredja Umat Pertama, Sekaligus Pejuang Gereja Gamping




Pada zaman penjajahan Jepang, banyak gereja Katolik dirampas untuk kepentingan pemerintah yakni untuk kantor, penjara, maupun markas militer. Pemerintah Jepang melarang serta menghentikan semua kegiatan pengajaran di sekolah-sekolah, dan banyak Biarawan-Biarawati ditangkap.

Selain itu, menghindari pemerintahan Jepan, semua peralatan gereja termasuk Altar, tempat untuk melaksanakan ibada suci disimpan dirumah-rumah warga. Untuk  menghindari pemerintah Jepan, penyimpangan itu selalu berpindah-pindah. Proses  ibadanya pun diadakan di Nyamplung, jauh dari Gamping, Yogyakarta.
 
Desa Gamping yang waktu itu merupakan pusat produksi batu Gamping -Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai penambang batu Gamping -mengyebabkan desa  itu terkenal di daerah Yogyakarta, Muntilan, hingga Magelang.

Kramarejda, cucu dari Raden Panewu Djajanggada, Abdi Dalem Kasultanan Nga-yogyakarta Hadiningrat sering mengantar Gamping ke Muntilan, kepada Romo Frans Van Lith SJ, seorang pastor Belanda berjiwa jawa yang sedang mendirikan gedung Kolese Xaverius di Muntilan.

Dari kedekatan itu muncul inisiatif Kramaredja menyekolahkan anak sulungnya, Bedot Djajautama, di pendidikan guru. Bedot menjadi guru di Indramayu dan berkenalan dengan seorang guru beragama katolik, Den Mas Djajus dari Sala. Perkenalan itu mengantarkan Kramaredja mendalami agama Katolik pada dan dibabtis tahun 1918.

Setelah dibabtis, Bendot membimbing adik perempuanya, Sarwana Brataanggada belajar di Normal School di Muntilan dan dibabtis di Muntilan pada tahun 1919. Ia juga mengarahkan adiknya belajar baca, tulis, dan bekerja di pabrik Cerutu Negresco yang sekarang lebih dikenal dengan nama Tarumartani.

Dengan cara itulah keluargan Bendo menjadi Katolik. Kramaredja dibabtis dengan nama Bartolomeus oleh Romo H. Van Driessche, SJ pada 10 November 1920. Dia  tercatat sebagai umat pertama di Gamping. Disusul dengan pembabtisan umat katolik lainya diwilayah ini.

Pada tahun 1923, Romo F. Strater, SJ membuka Volkschool di Mejing di kediaman Partadikrama dengan guru alm Bendot Djajautama dan dibantu Reksaatmajda. Ketika umat berjumlah 50 orang, mereka mendapatkan misa ekaristi sebulan sekali. Lambat laun ketika umat di Gamping berkembang menjadi 100 orang, mereka mendaptkan misa sebanyak dua kali bertempat di SD Kanisius Mejing.

Pada minggu biasa sebagian dari mereka berjalan kaki ke Kidul Loji, Kumetiran Kota Baru, dan Pugeran Yogyakarta untuk mengikuti misa.

Perkembangan umat di Gamping pun sangat pesat sehingga umat meminta pastor Paroki Kumetiran untuk mendirikan gereja di Gamping. Berhubung status Gamping belum jelas, apakah menjadi bagian dari Paroki Kotabaru atau Paroki Kumetiran, maka Romo Alexander Sandiwan Brata, Pr pada tahun 1954 menulis surat ke Vikariat Apostolik Semarang yang waktu itu belum menjadi Keuskupan.

Surat itu berisi tentang penegasan status bahwa Gamping memilih menjadi bagian dari Paroki Kumetiran daripada Kotabaru, melihat dari keeratan hubungan Gamping-Kumetiran dan kebiasaan umat Gamping beribada ke gereja Kumetiran.

Setelah terjadinya penegasan tersebut, pengurus stasi Gamping membentuk Panitia Persiapan Pendirian Gereja yang betugas untuk mengusahakan tanah serta pendirian Gereja dan pastoran di Gamping. Kepanitiaan tersebut terdiri atas Petrus Honosudjatmo, Bonifacius Tjaraka, Slamet Hartana, Widyarsana, dengan pelindung Romo Alecander Sandiwan Brata, Pr.

Singkat cerita akhirnya paroki Gamping pun berdiri pada tahun 1961 dengan pelindung Santa Maria Assupta yang diperingati setiap tanggal 15 Agustus. Paroki Gamping ini berbatasan dengan Paroki Mlati di sebelah utara, Paroki Pugeran di sebelah selatan, Paroki Kumetiran di sebelah timur, seta Paroki Klepu dan Paroki Sedayu di sebelah barat.

Diterbitkan di Bernas Jogja 13/8/11

Menyodorkan yang Belum Kita Tahu


Judul buku  :  Seri Lawasan Uang Kuno

Penulis        : Team Kerja KPG

Penerbit     :  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Halaman      :  88 halaman



Buku ini menyodorkan sesuatu yang belum kita tahu. Tapi tatap segar. Mengejutkan. Teryata yang kita ketahui masih belum berujung yang baru kita sadari. Seperti pengetahuan kita tentang uang.

Pada zaman dahulu, mata uang berupa potongan emas dan perak. Potongan kasar emas dan perak berbentuk setengah bulat, segi empat atau segitiga kemudian diberi cap untuk menandakan bahwa benda tersebut dapat digunakan sebagai alat tukar.  Cap  itu biasanya bergambar jambang, tiga kuntum bunga atau tiga tunas daun. Mata uang yang terbuat dari potongan emas waktu itu tiada tara nilainya. Dapat diggunakan untuk membayar utang yang tidak terhitung nilainya. 

Yang menarik untuk disimak adalah waktu pemerintahan colonial Belanda mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku uang logam, uang kertas yang menyerupai sertifikat pun dicetak sebagai alternative. Selain itu juga fungsi uang yang pada umumnya sebagai alat pembayaran difungsikan untuk upacara pernikahan. Apa penyebabnya? Akan diulas lengkap dalam buku ini.

Buku ini juga membuka ingatan kita tentang ragam mata uang di Indonesia  pada zaman penjajahan hingga revolusi seperti mata uang pertama Indonesia pada masa revolusi Indonesia  yang bernama Oeang Repoeblik Indonesai (ORI), yang waktu itu diggunakan sebagai lambang Kemerdekaan Identitas bangsa sekaligus sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan internasional terhadap kemerdekan RI terutama dibidang ekonomi.

Selai itu diulas juga tentang ulasan singkat uang kuno sejak terbitan De Javasche Bank Indonesia.

Kemasan buku ini dipermudah dengan beragam gambar menarik, di isi dengan puisi, cerita pendek dan humor yang memberi ruang bagi pembaca, menghidari kebosanan pembaca sebelum menengok kembali lembaran selanjutnya.

Semoga seri lawasan ini mampu merekam dan mengatar kita pada yang lampau yang telah kita kenal.

Aulia Reza Ingin Fasilitasi Difabel


YOGYA-Wakil walikota Aulia Reza menyatakan dirinya merupakan bagian dari Difabel. Kelompok ini, menurut dia perlu difasilitasi karena selama ini terlepas dari kegiatan-kegiatan sosial masyarakat.


Dia mengemukakan hal itu saat ditemui di sela-sela menunggu waktu berbuka puasa dengan Para Difabel di Rumah Makan Pondok Cabe, Jalan Cokroaminoto 16 Yogya, Selasa (23/08).


“Momen baik ini bertepatan dengan bulan Ramadan, maka saya manfaatkan untuk bersilaturahim dengan para difabel,” ugkap Aulia.


Menurutnya, dirinya juga seorang difabel yang senasib dan seperjuangan. Melalui acara buka puasa ini dia ingin memberika semangat. Semangat yang memotivasi hidup dan tidak meratapi nasib.  


Hal itu terlihat jelas dari lagu-lagu bernuansa riang dan bermotivasi yang dinyanyikan dengan iringan gitar akustik yang dimainkan Aulia dengan piawai.


Acara itu juga diselenggarakan berkenaan HUT ke-41 Aulia Reza. Dia memaparkan cita-citanya akan menfasilitasi difabel.” Saya bercita-cita ingin menfasilitasi para difabel, misalnya mendirikan tempat ibadah, karena saya pun seorang difable yang bisa merasakan hal yang sama dengan mereka,” kata dia. 

Diterbitkan di Bernas Jogja 24/8/11.


Selasa, 23 Agustus 2011

Kreasi lewak Kamera DSLR

PUSTAKA
Judul buku : Bukan Fotografi Biasa! Mudah & Praktis Fotografi untuk Hobi & Bisnis
Penulis : Bayu Blasius
Penerbit : One Books
Halaman buku : 90 halaman

Kelebihan Kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) yang paling menonjol adalah efisien waktu. Hasil jepretan dapat langsung dilihat atau dihapus jika kurang menarik. Juga mengulang lagi untuk jepretan yang lebih sesuai tanpa harus kawatir memori kartu akan penuh. 
 
Bandingkan jika menggunakan kamera analog Single Lens Reflex (SLR). Kita harus membeli film terlebih dulu. Setelah memotret hasil tidak langsung dilihat ataupun dihapus. Hasil baru diketahui saat film dicuci. Pencucian pun baru bisa dilakukan ketika isi film sudah penuh, sulit untuk mencuci satu frame saja. Setelah hasil dicetak dapat saja tidak sesuai dengan harapan, kadang kosong, gelap, kabur dan sebagainya. Penyebab utamanya adalah kesalahan pada settingan (ISO, Diafgrama dan Speed) yang bahasa populernya disebut “Komposisi” sehingga perluhnya pemahaman tentang pengaturan komposisi pada kamera tersebut. 
 
Kesalahan pada penguna kamera DSLR juga kerap terjadi padahal pada kamera DSLR telah tersedia Light Meter, alat untuk mengukur pencahayaan secara automatic. Pengaturan komposisi dapat digunakan untuk mengkreasi foto antara lain mengubah gambar gelap menjadi terang, mengubah foto mati menjadi gerak, begitu juga sebaliknya untuk menghasilkan kreasi foto yang lebih menarik dan unik. 
 
Sayangnya, untuk mengoperasikanya butuh seseorang yang benar-benar terlati. Bahkan, tidak jarang banyak orang menekuni dengan sekolah-sekolah khusus baik melalui bangku kuliah, kursus, konon sampai kuliah di luar negeri. Apa gerangan? 
 
Mungkin jejak penulis buku ini, Bayu Blasius, lulusan Bahasa Prancis Faluktas Ilmu Budaya UGM perluh ditiru. Ia menjadi seorang journalist outodidak melalui buku. Buku mengajarkannya tentang dunia fotografi. Kini dia telah menjadi seorang jurnalist khusus di pet foto (hewan peliharaan), company profile, buku, dan wedding. 
 
Dari pengalamannya ia menuliskan buku yang berjud Bukan Fotografi Biasa yang mengulas semua permasalahan tentang bagaimana teknik dasar dalam fotografi, perangkat kamera, posisi tubuh untuk menghasikan hasil foto yang menarik, cara memegan kamera yang benar, mengolah komposisi, teknik-teknik fotografi dasar sampai teknik mengolah foto. Dilengkapi juga tentang Panduan atau gambaran dalam memilih kamera DSLR. 
 
Selain itu, buku ini dilengkapi pula ragam usaha forografi, kiat memulai bisnis fotografi dan ide-ide kreatik yang dibutukan untuk usaha fotografi, memahami pernak pernik usaha fotografi. 
 
Bahasa yang diggunakan sangat sederhana, bahasa yang praktisi dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah dipahamai. Semoga buku ini membantu anda menjadi seorang fotografi yang mampu mengkreasikan foto dengan belajar outodidak sebagaimana dilakukan penulis buku. 
 
Dimuat di Bernas Jogja