Selasa, 30 Agustus 2011

Kramaredja Umat Pertama, Sekaligus Pejuang Gereja Gamping




Pada zaman penjajahan Jepang, banyak gereja Katolik dirampas untuk kepentingan pemerintah yakni untuk kantor, penjara, maupun markas militer. Pemerintah Jepang melarang serta menghentikan semua kegiatan pengajaran di sekolah-sekolah, dan banyak Biarawan-Biarawati ditangkap.

Selain itu, menghindari pemerintahan Jepan, semua peralatan gereja termasuk Altar, tempat untuk melaksanakan ibada suci disimpan dirumah-rumah warga. Untuk  menghindari pemerintah Jepan, penyimpangan itu selalu berpindah-pindah. Proses  ibadanya pun diadakan di Nyamplung, jauh dari Gamping, Yogyakarta.
 
Desa Gamping yang waktu itu merupakan pusat produksi batu Gamping -Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai penambang batu Gamping -mengyebabkan desa  itu terkenal di daerah Yogyakarta, Muntilan, hingga Magelang.

Kramarejda, cucu dari Raden Panewu Djajanggada, Abdi Dalem Kasultanan Nga-yogyakarta Hadiningrat sering mengantar Gamping ke Muntilan, kepada Romo Frans Van Lith SJ, seorang pastor Belanda berjiwa jawa yang sedang mendirikan gedung Kolese Xaverius di Muntilan.

Dari kedekatan itu muncul inisiatif Kramaredja menyekolahkan anak sulungnya, Bedot Djajautama, di pendidikan guru. Bedot menjadi guru di Indramayu dan berkenalan dengan seorang guru beragama katolik, Den Mas Djajus dari Sala. Perkenalan itu mengantarkan Kramaredja mendalami agama Katolik pada dan dibabtis tahun 1918.

Setelah dibabtis, Bendot membimbing adik perempuanya, Sarwana Brataanggada belajar di Normal School di Muntilan dan dibabtis di Muntilan pada tahun 1919. Ia juga mengarahkan adiknya belajar baca, tulis, dan bekerja di pabrik Cerutu Negresco yang sekarang lebih dikenal dengan nama Tarumartani.

Dengan cara itulah keluargan Bendo menjadi Katolik. Kramaredja dibabtis dengan nama Bartolomeus oleh Romo H. Van Driessche, SJ pada 10 November 1920. Dia  tercatat sebagai umat pertama di Gamping. Disusul dengan pembabtisan umat katolik lainya diwilayah ini.

Pada tahun 1923, Romo F. Strater, SJ membuka Volkschool di Mejing di kediaman Partadikrama dengan guru alm Bendot Djajautama dan dibantu Reksaatmajda. Ketika umat berjumlah 50 orang, mereka mendapatkan misa ekaristi sebulan sekali. Lambat laun ketika umat di Gamping berkembang menjadi 100 orang, mereka mendaptkan misa sebanyak dua kali bertempat di SD Kanisius Mejing.

Pada minggu biasa sebagian dari mereka berjalan kaki ke Kidul Loji, Kumetiran Kota Baru, dan Pugeran Yogyakarta untuk mengikuti misa.

Perkembangan umat di Gamping pun sangat pesat sehingga umat meminta pastor Paroki Kumetiran untuk mendirikan gereja di Gamping. Berhubung status Gamping belum jelas, apakah menjadi bagian dari Paroki Kotabaru atau Paroki Kumetiran, maka Romo Alexander Sandiwan Brata, Pr pada tahun 1954 menulis surat ke Vikariat Apostolik Semarang yang waktu itu belum menjadi Keuskupan.

Surat itu berisi tentang penegasan status bahwa Gamping memilih menjadi bagian dari Paroki Kumetiran daripada Kotabaru, melihat dari keeratan hubungan Gamping-Kumetiran dan kebiasaan umat Gamping beribada ke gereja Kumetiran.

Setelah terjadinya penegasan tersebut, pengurus stasi Gamping membentuk Panitia Persiapan Pendirian Gereja yang betugas untuk mengusahakan tanah serta pendirian Gereja dan pastoran di Gamping. Kepanitiaan tersebut terdiri atas Petrus Honosudjatmo, Bonifacius Tjaraka, Slamet Hartana, Widyarsana, dengan pelindung Romo Alecander Sandiwan Brata, Pr.

Singkat cerita akhirnya paroki Gamping pun berdiri pada tahun 1961 dengan pelindung Santa Maria Assupta yang diperingati setiap tanggal 15 Agustus. Paroki Gamping ini berbatasan dengan Paroki Mlati di sebelah utara, Paroki Pugeran di sebelah selatan, Paroki Kumetiran di sebelah timur, seta Paroki Klepu dan Paroki Sedayu di sebelah barat.

Diterbitkan di Bernas Jogja 13/8/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar