Selasa, 30 Agustus 2011

Waria dan Kemerdekaan

Kemerdekaan Republik Indonesia telah mencapai 66 tahun. Umur yang tidak kecil untuk kemerdekaan ini. Namun apakah kemerdekaan ini sudah dinikmati oleh semua lapisan warga negara?


Tidak! Kemerdekaan itu hanya dirasakan oleh orang dan kelompok tertentu saja. Hidup dan beraktivitas tanpa tendesi apapapun. Sakin nikmatnya kemerdekaan itu, banyak yang menyalagunakan untuk kepentingan individu yang merugika bangsa dan Negara. Lihat saja beberapa kasus KKN yang menjerumuskan beberapa Pejabat Negara ke jeruji besi. Bahkan keluar masuk jeruji besi dengan kasus yang sama. Kemerdekaan itu tidak dioptimalkan dengan baik sebagai upaya penghormatan kepada para Heroi yang telah berjasa memperjuangkan kemerdekaan ini dengan mengorbankan nyawa.


Perlu kita tengok bahwa masih banyak orang diluar sana yang belum menikmati kemerdekaanya. Mereka belum bisa menikmati kemerdekaan ini  layaknya warga Negara yang hidup, tinggal dan menetap dengan aman dan nyaman. Hak dan martabat sebagai makluk ciptaan Tuhan dalam warga Negara masih ditindas.


Sebut saja kaum waria. Keberadaanya masih dikucilkan bahkan belum diakui masyarakat dan pemerintah. Padahal sebagai warga Negara dan umat ciptaan Tuhan mereka berhak atas kebebasan itu. Harusnya kita memiliki hak yang sama yaitu hidup, tinggal, bersuara, mempertahankan hidup serta berekspresi. Kita harus dapat mengkontruksi perbedaan dengan menerima, mengakui dan menghargai perbedaan itu. Seperti slogan Bhineka Tunggal Ika yang berbunyi Berbeda-beda Tapi Satu Juga.


Paradigma kita tentang pluralisme tentunya harus diperluas, jangan terkotak pada satu wacana bahwa agama dan etika mengharamkan. Perlu dicamkan, bahwa, selama ini agama mengakui keberadaan mereka hanya saja melarang keras pasangan berbeda jenis (laki-laki atau perempuan-perempuan) untuk hidup bersama. Sedangkan penolakan berdasarkan etika itu karena adanya pemikiran dan pengalaman bahwa dari dulu sampai sekarang tidak ada kehidupan semacam itu. Seolah-olah  masyarakat dikejutkan dengan keberadaan itu sehingga gampang menyimpulkan antara benar dan salah. Padahal itu merupakan dua hal yang berbeda.


Akibatnya keberadaan mereka dianggap sesuatu yang “aib” di mata masyarakat dan Negara. Hak dan martabatnya untuk mengekspresikan diri sesuai dengan talentanya dikucilkan. Padahal kontribusi mereka untuk kemerdekaan ini perlu diacungi jempol.   


Mereka bekipra dengan kominitas yang dibentuk Keluarga Besar Waria Yogyakarta (KEBAYA) dan  Sampai Disini Tuhan Masih Menolong (EBENEZER) merangkul orang-orang kecil antara lain anak-anak jalanan, anak kurang mampu, anak-anak pengamen dengan memberikan pendidikan menulis, membaca, serta menyalurkan buku bagi mereka. Kepedulian terhadap orang miskin sangat besar. Mereka bahkan melindungi anak-anak itu dari berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan orang-orang yang berkelas kecukupan. Apakah anda melakukan hal yang demikian?


Tidak ada salahnya kita saling mengakui, menerima dan menghargai perbedaan. Biarlah masing-masing orang mempertanggung jawabakannya di akhirat. Jangan mengadili mereka secara sepihak. Biarkan mereka berekspresi menikmati kemerdekaan ini.


Perbedaan bukan halangan bagi kita untuk berkreasi, melakukan sesuatu mengisi kemerdekaan ini untuk pembangunan Negara Republik Indonesia yang lebih baik. Mari kita rangkul dan kontruksi perbedaan ini dengan menerima dan menghargai satu sama lain.


Implementasi Bhineka Tunggal Ika

Undang-undang dasar kenegaraan kita berpijar dari perbedaan atau Bhineka Tunggal Ika bahwa berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Jadi tentu undang-undang kenegaraan kita mengakui dan melegalkan perbedaan. Apakah implementasinya juga demikian? 


Berkaca dari konflik karena perbedaan yang sering terjadi di Negara kita, nampaknya kita belum siap mengimplementasikanya. Sudah cukup jauh kita melangkah mengibarkan slogan itu. Harusnya hal itu tidak lagi dipertanyakan. Ibaratnya kita sudah cukup dewasa, kedewasaan itu membuat kita mempunyai frame yang luas akan perbedaan, mampu mengkontruksi perbedaan dengan saling menerima dan menghargai. Semoga saya salah.


Pertanyaan yang lain kemudian muncul jika benar kapan kita akan mengiplementasikannya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar