Selasa, 14 Februari 2012

Pemorkosaan dan Masyarakat Misoginis

MARAKNYA kasus pemerkosaan di angkot yang terjadi belakangan ini, memperlihatkan wajah masyarakat kita yang misoginis; suatu fenomena yang menunjukkan adanya kebencian mendalam terhadap perempuan. Sikap misoginis itu sendiri, antara lain, terbentuk akibat dari sikap negara yang tidak sensitif gender. 

Kasus pemerkosaan di dalam angkutan kota kembali terjadi. Baru-baru ini, 20 Januari 2012 publik dikejutkan dengan pengakuan seorang mahasiswi sekolah tinggi kebidanan berinisial JM (18) yang diperkosa oleh lima pria secara bergilir di dalam angkot C01 jurusan Ciledug, Kebayoran Baru, Jakarta. Peristiwa pemerkosaan ini menambah beberapa deret kasus pemerkosaan di angkot yang belum selesai diusut.

Kasus pemerkosaan sebelumnya pertama, kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa mahasiswa Universitas Bima Nusantara (Binus), Livia Pavita Soelistio di angkot M 24 jurusan Slipi-Binus Kebon Jeruk, Jakarta. Kedua, kasus pemerkosaan yang dialami oleh karyawan perusahaan swasta berinisial RS (28) di dalam angkot D02 jurusan Pondok Labu-Ciputat, Jakarta. Lalu, ketiga, kasus pemerkosaan yang dilakukan supir angkot jurusan Cibubur, Taman Bunga Mekarsari, Jakarta, MS (55), terhadap 5 anak perempuan. Dan, keempat,  kasus pemerkosaan dan perampokan yang menimpa Ros (40), pedagang sayur pada 14 Desember di dalam angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi, Jakarta. 

Lima kasus pemerkosaan yang terjadi dalam waktu yang berdekataan itu sebetulnya hanya sebagian kasus yang diekspos media. Komnas Perempuan melangsir data yang membuat miris: sejak tahun 1998 hingga 2010 kasus pemerkosaan yang terjadi mencapai 4.845. Kemudian pada tahun 2011 kasus itu membengkak menjadi 400.939 kasus pemerkosaan. 

Situasi Misoginis

Data mencenggangkan itu menyiratkan kaum perempuan hidup dalam situasi misoginis. Suasana dimana stuktur sosial masyarakat menyimpan kebencian mendalam terhadap perempuan di alam bawah sadar mereka. Dalam kondisi masyarak seperti itu, perempuan dipandang rendah, kotor, dan nista, sehingga layak mendapatkan berbagai bentuk perlakuan buruk termasuk diperkosa dan bahkan dibunuh.

Situasi misoginis tersebut sangat jelas terungkap dalam wacana yang menyalahkan perempuan pada kasus pemerkosaan itu. Setelah kasus ini terekspos secara luas di media massa, wacana yang mencuat adalah pemerkosaan itu terjadi karena ulah dari perempuan itu sendiri. Perempuan dianggap mengundang dengan gaya pakaianya yang terlihat menonjolkan bagian-bagian atau lekuk-lekut tubunya. Sedangkan laki-laki yang menjadi pelaku seolah-olah dilindungi dengan dihilangkan dari perbingcangan.

Fenomena itu menunjukkan perempuan yang jelas sudah menjadi korban tetap dipersalahkan. Jika pandangan misoginis ini terus hidup ditengah masyarakat, pemorkosaan semacam ini akan terus terjadi dan bahkan akan terus meningkat. Di sini dibutukan penanganan serius oleh pihak-pihak  yang berwenan. Wacana yang beredar bahwa pemerkosaan ini berulang kali terjadi karena kurangnya penanganan tegas dari pihak kepolisiaan. Kepolosianlah yang harus memprioritaskan perlindungan terhadap perempuan serta memperbaiki kinerja intelijen. Haruskah pihak kepolisian yang dipersalahka? Dalam hal ini, peran negaralah yang sangat menentukan guna melindungi eksistensi kaum perempuan: hak, kebebasan dan martabatnya. 

Pengabaian

Banyaknya kasus pemerkosaan yang terus bermunculan karena hak-hak perempuan diabaikan, khususnya oleh negara. Perempuan tidak diperhitungkan dalam berbagai aspek kehidupan; ekonomi, sosial, politik, budaya, dan termasuk di bidang pembangunan atau infrastruktur.

Dalam sistem trasportasi tidak sensitif terhadap kenyamanan perempuan. Ketidaknyamanan itu juga terlihat pada ruang-ruang publik - ruang yang digunakan secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte), dan museum. Hal itu menyebabkan potensi terungkapnya rasa misoginis yang terpendam dapat muncul ke permukaan dalam bentuk pemerkosaan.

Karena pemerkosaan adalah persoalan hak asasi manusia, dan merupakan bentuk tindakan kriminal. Maka, pemenuhan hak-hak perempuan dengan diperhitungkan dalam pembangunan-dengan menerapkan sensitivitas gender amat penting dan mutlak perlu. Hal itu diyakini akan mempersempit atau mencegah terjadinya tindakan misoginis terhadap perempuan.