Kamis, 20 Oktober 2011

Kramat Tunggak yang Tidak Kramat

PUSTAKA

Judul buku         :  Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak
Penulis              :  Endang R. Sedyaningsih-Mamahit
Penerbit           :  Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Halaman buku  :  liii+ 250 halaman


Enambelas tahun telah berlalu. Kramat Tunggak yang terkenal sebagai wilayah lokalisasi di pinggiran Jakarta, dekat pelabuhan Tanjung Priok di wilayah Jakarta Utara pada zaman itu merupakan tempat pelacuran terbesar di Indonesia. Ketika menjelang malam, tempat itu diselimuti keremangan, canda-tawa setengah terdengar, kepulan asap rokok, semua memenuhi sudut-sudut kompleks pelacuran. Musik dangdut ingar-bingar menyemarakkan suasana. Tubuh-tubuh gemulai mulai beraksi, mencari pelabuhan sekejap, dalam pelukan basa-basi.


Dulu, salah satu Panti Rehabilitasi milik Pemerintah Daerah Jakarta dioperasikan di Kramat Tunggak untuk menampung dan mensosialisasikan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS kepada para pekerja seks. Berbagai program digelar, di antaranya melalui bimbingan ketrampilan, mental, dan sosial. Sekarang program itu musnah, sedangkan pekerja seksnya hilang tanpa jejak.


Kini, Kramat Tunggak resmi ditutup oleh Pemerintah DKI.  Kramat Tunggak disulap oleh pemerintah menjadi Mesjid Keagungan Islamic Center sebagai potret modern Kramat Tunggal- tempat dikuburkan kisah pahit kehidupan anak manusia. Di tempat ini pula setumpuk harapan ditenggelamkan tanpa banyak pertimbangan selain mimpi meraih bintang. Namun, seperti diibaratkan penulis, ketika suara pembuluh tersumbat, tubuh akan giat membentuk pembuluh baru (kolateral) agar aliran darah dapat terus mengalir. Begitu juga yang terjadi dengan Kramat Tunggak. Ke manakah aliran baru itu akan bermuara?


Kemauaan sendiri atau bukan, sebenarnya mereka bagaikan makluk yang terjebak dalam perangkap yang sempit. Keberadaan mereka dikecam publik. Ada yang benci dirinya, butuh dirinya, berlutut mencintainya, ada pula yang kejam menyiksa dirinya.


Dosakah yang mereka kerjakan. Sucikah mereka yang datang. Kadang dia senyum dalam tangis, kadang dia menangis di dalam senyuman. Seperti komentar yang diungkapkan oleh Maria Hartiningsih, wartawan Kompas dalam buku Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, bahwa argumen yang menyatakan mereka yang terjebak menjadi pemberi layanan seks dalam pusaran industri seks komersial, khususnya untuk kelas menengah bawah, melakukan jenis ”kerja” itu sebagai pilihan bebas dipatahkan argumentasinya.


Menunut Hartiningsih, dalam industri seks, prostitusi bukan sekadar bisnis layanan seks, lebih dari itu, adalah pertarungan yang sangat timpang dengan “locus” tubuh perempuan. Maka, andai harus menyebut kata “dosa”, kata itu seharusnya ditujukan kepada mereka pemberi layanan: dari penjaja makanan, minuman, rokok, tukang kredit, aparat, germo, klien, “pacar”, “suami”, orangtua dan jaringan makelar, serta semua pihak yang menjadi bagian dari bisnis kriminal perdagangan orang, sampai politisi dan pembuat kebijakan publik.  Bukan pekerja seks!


Berbeda dengan Baby Jim Aditya, Psikolog, Hypnotherapist, AIDS Activist, Prison Specialist dalam mengisi latar belakang buku ini. Dia menyarangkan Indonesia untuk mengadopsi negara Thailand dan Belanda dalam mengendalikan Infeksi Menular Seksul dan HIV/AIDS serta melindungi perempuan dari tindakan kekerasan dan eksploitasi oleh pelanggan.


Bagi Aditya, di negara tersebut, syarat mutlat yang harus dituruti oleh pelanggan adalah menggunakan kondom. Di kamar tersedia wastafel tempat laki-laki pelanggan itu harus cebok dulu sambil mengurut kelaminnya sendiri, disaksikan oleh si pekerja seks untuk melihat apakah ada nanah yang keluar atau tidak yang merupakan indikasi adanya infeksi menular seksual. Jika terbukti pekerja seks berhak menolak melayani klien.


Dan, untuk menghindari kekerasan yang mungkin dilakukan oleh pelanggan, tiap kamar dilengkapi dengan tombol alarm yang dipasang di tempat tidur yang terhubung ke kantor polisi terdekat, sehingga pelanggan yang mabuk atau tidak mau membayar langsung ditangani. Selengkapnya akan dibahas lebih lanjut dalam buku ini.


Buku ini mengangkat gambaran menarik mengenai latar belakang sosial ratusan perempuan yang bekerja sebagai penghibur seks di lokasi pelacuran Kramat Tunggak. Apa yang terungkap dalam buku ini sebagian besar bukanlah gambaran keadaan pada masa sekarang. Kisah itu terjadi 16 tahun lalu. Buku ini juga pernah terbit pada 1999 melalui percetakan Pustaka Sinar Harapan.


Untuk menengok lagi apa yang telah dilakukan dan terjadi serta memberikan saran praktis agar semua program pemerintah lebih efektif dalam mencegah IMS di kalangan kompleks pelacuran, Endang R. Sedyaningsih-Mamahit, mengorek lagi karya tulisnya Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak yang merupakan karya disertasi program doktor di Harvard School of Public Health, Boston, Amerika Serikat, yang berfokus pada perilaku seksual mereka yang beresiko tinggi: mereka dapat tertular dan menularkan infeksi menular seksual atau IMS, termasuk HIV/AIDS ini, membuat cetakan yang kedua lewat percetakan Kepustakaan Populer Gramedia.


Bukan hanya meneliti apa yang menjadi fokus penelitian. Dia juga meneliti semua yang dinilai menarik di Kramat Tunggak yang kemudian dituliskan semua dalam buku ini baik itu dalam bentuk cerita pendek berdasarkan hasil observasi, wawancara maupun pengalaman pribadi.


Buku cetakan kedua ini isinya tidak beda dengan cetakan sebelumnya. Hanya saja pengemasanya lebih menarik karena pembaca dipermudah dengan pengisian pesan-pesan kecil tentang inti tulisan pada setiap bab dan sub-sub bab. Juga dilengkapi foto-foto Kramat Tunggak zaman dulu, dengan perbandingan foto kramat Tunggak sekarang.


Selain itu dilengkapi dengan beberapa tempat lokalisasi yang tersebar di Indonesia sebelum dan sesudah Kramat Tunggak yang dicurigai sebagai tempat menyebarnya para pekerja seks Kramat Tunggak paska ditutup secara sah oleh Pemerintah DKI 16 tahun yang lalu. 


Telah diterbitkan di Harian Pagi Bernas Jogja, edisi 19/9/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar